kembangapi_2

Thursday, February 22, 2007

Persyaratan Penulis Kembang Api 2

“M e n u l i s K e m b a n g A p i 2”

Proyek Menulis Kembang Api 2 adalah proyek lanjutan buku kumpulan cerita pendek yang digagas oleh Gerakan Peduli Sekitar Kita (GPSK). Kali ini cerita pendek yang akan dikumpulkan adalah cerita pendek yang diinspirasikan dari cerita rakyat. Dari cerita rakyat yang ada di seluruh pelosok tanah air Indonesia ini, banyak hal yang bisa kita gali, pelajari, dan kita interpretasi sesuai dengan zaman terkini.

Adapun syaratnya adalah sebagai berikut:
1.Penulis adalah anak muda BDI dan/atau volunteer GPSK.
2.Naskah asli, bukan saduran dan belum pernah diterbitkan sebelumnya.
3.Cerita pendek yang ditulis berdasarkan inspirasi penulis atas 25 cerita rakyat yang telah dipilih GPSK. Materi cerita rakyat dapat dilihat di www.kembangapi2.blogspot.com
Penulis dapat mencari versi lain dari 25 cerita rakyat yang telah dipilih tersebut, namun harus mencantukan sumber pustaka/online dengan lengkap.
4.Penulis bebas menginterpretasikan cerita rakyat tersebut melalui:
-mengubah setting waktu dan tempat cerita yang disesuaikan dengan zaman sekarang
-tetap menggunakan setting waktu dan tempat seperti dalam cerita rakyat, tetapi membuat pemaknaan (memberi makna) baru.
6.Tema cerita pendek yang ditulis adalah : CINTA, dalam kaitannya dengan segala bentuk hubungan manusia (suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik, individu-masyarakat, dan lain sebagainya).
5.Panjang naskah maksimal 8 halaman folio, diketik dua spasi, font. Arial 11

Naskah diterima oleh GPSK paling lambat pada tanggal 20 Maret 2007, melalui email pedulisekitarkita@yahoo.com atau melalui pos ke Jalan Padang 30, Jakarta Selatan 12970.

Naskah harus disertai biodata singkat penulis. Setiap naskah yang terpilih akan mendapat honor yang layak dan naskahnya akan diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Kembang Api 2.

Bila ada pertanyaan berkaitan dengan proyek penulisan Kembang Api 2, dapat ditanyakan melalui email ke loverenn@gmail.com

Selamat Menulis!

Salam,

Gerakan Peduli Sekitar Kita

Tuesday, February 06, 2007

Ratu Kidul - Cerita Rakyat Jawa Tengah

Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.
Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Misteri Gunung Bromo-Jawa Tengah

Dahulu ketika dewa-dewa masih senang turun ke dunia, kerajaan Majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah. Penduduk bingung mencari tempat pengungsian, demikian juga dengan dewa-dewa. Pada saat itulah dewa mulai pergi menuju ke sebuah tempat, disekitar Gunung Bromo.

Gunung Bromo masih tenang, tegak diselimuti kabut putih. Dewa-dewa yang mendatangi tempat di sekitar Gunung Bromo, bersemayam di lereng Gunung Pananjakan. Di tempat itulah dapat terlihat matahari terbit dari Timur dan terbenam di sebelah Barat.

Di sekitar Gunung Pananjakan, tempat dewa-dewa bersemayam, terdapat pula tempat pertapa. Pertapa tersebut kerjanya tiap hari hanyalah memuja dan mengheningkan cipta. Suatu ketika hari yang berbahagia, istri itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya tampan, cahayanya terang. Benar-benar anak yang lahir dari titisan jiwa yang suci. Sejak dilahirkan, anak tersebut menampakkan kesehatan dan kekuatan yang luar biasa. Saat ia lahir, anak pertapa tersebut sudah dapat berteriak. Genggaman tangannya sangat erat, tendangan kakinya pun kuat. Tidak seperti anak-anak lain. Bayi tersebut dinamai Joko Seger, yang artinya Joko yang sehat dan kuat.

Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Waktu dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng.

Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.

Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.

Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.

Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.

Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok.
Dengan kegagalan Bajak membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara Anteng dan Joko Seger sebagai pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling mengasihi.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.
Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Sl KULUP YANG DURHAKA-Cerita rakyat dari Sumatera selatan

Cerita ini berasal dari Belitung. Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang ada dalam hutan. Hasil pencahariannya dijual di pasar.
Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.
Suatu ketika, ayah si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayahnya si Kulup sebatang tongkat berada pada rumpun bambu. Pak Kulup demikian orang menyebut ayah si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul dan dibersihkan ternyata tongkat bertabur intan permata, dan merah delima.
Ia juga tetap membawa rebung pulang, karena dari situlah mata pencahariannya sehari-hari. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut, membawa tongkat pulang ke rumah. Sesampai di rumah, didapatinya si Kulup sedang tiduran. Isterinya berada di rumah tetangga.
Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tapi pemuda itu tidak mau. la baru saja pulang mendorong kereta. Badan masih lelah. la tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.
Pak Kulup pergi menyusul isterinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah, mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.
Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab: "Mau disimpan di mana. Kita tidak punya lemari."
Kemudian Si Kulup pun usul: Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya."
Akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat itupun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.
Setelah si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. la tetap tinggal di rantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar kaya maka ia pun diambil menantu oleh saudagar paling kaya di negeri tersebut.
Si Kulup sudah beristeri. Mereka hidup serba berlebih. Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dirantau, oleh mertuanya si Kulup disuruh berniaga ke negeri lain bersama isterinya. Si Kulup lalu membeli sebuah kapal besar. la juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.
Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti: ayam, itik, angsa, burung.
Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. Sangatlah rindu kedua orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan kesukaan si Kulup seperti : ketupat, rebus belut, panggang dan sebagainya. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.
Sesampai di kapal kedua orang tua itu mencari anaknya si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya melihat kedua or-ang tuanya merasa malu. Maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang.
Saudagar kaya itu marah sambil berucap: "Pergi! Lekas pergi." Aku tidak punya orang tua seperti kau. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau. Enyahlah, engkau dari sini!"
Pak Kulup dan isterinya merasa terhina sekali. Mereka cepat cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang mereka terima hanyalah umpatan caci maki dari anak kandungnya sendiri.
Setibanya di darat, emak si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. la benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi. la berucap: "Kalau saudagar itu benar-benar anakku si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam."
Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak si Kulup pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan luar biasa pada penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.
Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu, muncullah sebuah pulau yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatang bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan Pulau Kapal.

Nyai Dasima - Cerita rakyat Jakarta

Di suatu rumah terlihat Tuan Edward sedang sibuk membaca buku tebal. Sekali-sekali dia membuat catatan. Lalu, meneruskan membaca lagi. Sementara itu Dasima, seorang gadis remaja berumur 13 tahun, datang ke rumah Nyonya Bennet untuk meneruskan pelajaran menjahitnya. Pada kesempatan lain dia juga belajar memasak. Dasima memang tidak mengecewakan. Dia mudah mengerti pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya.
Akhirnya Nyonya Bennet berkata, "Kamu sudah mendapatkan semuanya, Dasima. Kukira cukup untuk bekal hidupmu kelak. Kamu amat disayang oleh majikanmu, bukan?"
Dasima tersipu.
"Tuan Edward orang baik, Dasima. Selama kamu bisa membawa diri dan bisa mengambil hatinya, kukira kamu akan sukses."
Dasima mengucapkan terima kasih. Sejak itu dia hidup bersama majikannya. Dia tidak pulang ke kampungnya. Dia tinggal di situ untuk selamanya. Dari hubungan itu, Dasima mendapatkan seorang anak perempuan bernama Nancy. Anak itu cantik dan manis, tidak berbeda dengan anak-anak Eropa lainnya. Tiap hari Nancy bercakap dalam bahasa Inggris, tetapi Dasima mengerti. Nancy lebih fasih mengucapkan, sedangkan Dasima susah serta beraksen melayu dan sering dicampur kata-kata Sunda. Tuan Edward terpingkal-pingkal kalau Nancy meniru gaya ibunya berbicara. Namun demikian, mereka berkomunikasi dengan mesra dan harmonis. Tuan Edward makin sayang kepada Dasima. Uang belanja yang diberikan kepadanya amat berlebihan. Sisanya masih sangat banyak untuk ditabung Dasima.
Setelah hidup bersama selama delapan tahun, keluarga Tuan Edward pindah ke Batavia. Rumah dan pekarangan yang luas di Curug dijual. Mereka membeli rumah baru di Gambir. Di situ didirikan rumah baru yang mewah dan mentereng. Dasima sebagai nyai besar menunggu rumah bersama Nancy selama siang hari, sedangkan "suaminya", Tuan Edward, bekerja di daerah Kota.
Orang-orang Betawi asli yang tinggal di sekitar Gambir mulai ramai membicarakan kekayaan Tuan Edward. Tentunya sangat beruntung Dasima jadi kesayangannya. Para wanita iri kepada Dasima. Mereka semua ingin menjadi nyai Tuan Edward, sedangkan para lelaki mengirikan Tuan Edward. Mereka semua ingin jadi suami Dasima. Dasima terlalu cantik untuk orang Inggris bungkuk itu.
Samiun, seorang laki-laki kasar dari kampung Pejambon, segera merencanakan usahanya untuk mendekati Dasima. Untuk maksud itu, dia menyuruh Mak Buyung sebagai pembuka jalan. Orang tua setengah baya itu disuruh menjajakan telur di rumah Tuan Edward. Dasima membeli beberapa butir. Sejak itu Mak Buyung menjadi langganan Dasima. Lama-kelamaan dia sudah sangat biasa keluar masuk rumah Tuan Edward. Dia pandai memikat Bicaranya ramah. Mak Buyung sudah menjadi orang kepercayaan Dasima. Berbincang-bincang intim sering mereka lakukan. Mak Buyung bebas sekali berbicara. Soal agama sering disebut-sebut. Mak Buyung secara terang-terangan mengecam hubungan Tuan Edward dengan Dasima.
"Hubungan Neng dengan tuan baik sekali," kata Mak Buyung pada suatu siang, "hanya sayang, Tuan Edward bukan lelaki idaman. Selama kenal dengan saya, Neng benar-benar tampak menyembunyikan kesedihan. Apakah Neng menyesal telah berhubungan gelap dengan lelaki Eropa? Jangan khawatir, Neng. Saya berusaha untuk membikin tenteram hati Neng. Bacalah doa lima kali dalam sehari dan lepaskan diri Neng dari lelaki Eropa itu!" Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut supaya tidak menyinggung perasaan Dasima.
Pada suatu hari, Samiun pergi ke rumah Pak Salihun di Pecenongan untuk meminta mantra.
"Assalamualaikum," Samiun memberi salam.
"Alaikum salam," jawab Pak Salihun, "ada apa, Un?"
Samiun menerangkan maksudnya dengan setengah berbisik. Maklum, yang diceritakan soal perempuan. Bukan soal istrinya, Hayati, atau mertuanya, Ibu Saleha, tetapi Dasima, yang sudah makin dikenal sebagai nyai Tuan Edward di Gambir.
"Saya mengerti, Un," jawab Pak Salihun sambil tertawa panjang.
"Tidak tercela lelaki yang bermaksud meluruskan perempuan yang kurang benar. Itu mudah, Un."
Setelah segala syarat dipenuhi Samiun, Pak Salihun membaca jompa-jampi. Mulutnya komat-kamit. Doa-doa pun mengiringinya. Asap dupa mengepul sepanjang malam di kamarnya yang tertutup.
Pada suatu siang Dasima terheran-heran. Dia melihat Mak Buyung membawa setandan pisang dan buah-buahan lainnya yang diturunkan dari punggung seorang pembantunya.
"Apa-apaan ini, Mak Buyung?" kata Dasima.
"Sekadar oleh-oleh. Ini tanda persahabatan dari Hayati, keponakanku. Dia kirim salam untuk Neng."
Segan juga Dasima menerimanya. Terpaksa dia mengucapkan terima kasih.
"Hayati adalah istri Samiun. Ibu Saleha, ibu mertua Samiun, adalah guru mengaji. Mengajilah padanya. Nanti Neng akan makin banyak kawan serta dapat pahala."
Pembantu yang bekerja di rumah Dasima mendapat ajakan pula dari Mak Buyung. Ini dilakukan Mak Buyung agar maksud sesungguhnya tidak diketahui Dasima.
Empat hari kemudian Samiun mendapat dua bungkus ramuan dari Pak Salihun.
"Campurkan ramuan ini ke dalam minuman Dasima, Mak Buyung. Sedikit-sedikit saja," pesan Samiun kepada orang tua itu.
"Akan beres semuanya, Un."
Ke dalam genggaman Mak Buyung sekali lagi Samiun menyelipkan lembaran uang yang membuat Mak Buyung amat senang.
Satu bungkus ramuan itu dimaksudkan untuk Dasima. Satu bungkus lainnya untuk Tuan Edward. Dengan ramuan yang diminum nanti, Dasima bisa goncang hatinya dan membenci Tuan Edward. Dengan ramuan itu pula, Tuan Edward akan selalu tunduk dan menuruti setiap kemauan Dasima.
Hasilnya?
Sampai sebulan belum tampak gejalanya, masih seperti biasa. Mak Buyung gelisah. Dasima belum ada hasrat belajar mengaji di rumah lbu Saleha. Tampaknya Dasima makin sayang kepada tuannya.
Mak Buyung bingung.
Rupanya Dasima orang luar biasa, pikirnya. Mantra-mantra Pak Salihun tidak mempengaruhi jiwa Dasima. Ibu Saleha dan Hayati di Pejambon mendapat laporan dari Mak Buyung. Mereka berunding mencari jalan lain agar Dasima bisa cepat ditundukkan. Pada mulanya agar Samiun mengecap kesenangan, kemudian Hayati dan ibunya akan mendapat bagian juga.
Keesokan harinya, Mak Buyung datang lagi ke rumah Dasima. Dia menceritakan bahwa Hayati dan ibunya ingin berkunjung memperkenalkan diri. Apakah Dasima, tidak keberatan menerima kedatangan mereka?
"Dengan senang hati, Mak Buyung," jawab Dasima.
Pada hari yang ditentukan, Ibu Saleha dan Hayati datang. Mereka tidak lupa membawa oleh-oleh dari Pejambon. Sangat ramah wajah mereka. Tersenyum dan tertawa-tawa gembira. Seperti orang yang sudah kenal bertahun-tahun. Dasima senang sekali. Dia bercerita yang ringan-ringan saja.
"Sudah berapa tahun bersama Tuan Edward?" tanya Hayati tiba-tiba kepada Dasima.
Dasima menceritakan seluruh jalan hidupnya, sejak perawan dan hidup bersama Tuan Edward. Sudah delapan tahun lebih dan mendapatkan seorang anak perempuan yang cantik.
"Neng sangat cantik," timpal lbu Saleha, "sehingga Nancy menurun seperti ibunya. Hanya sayang ...."
"Sayang apanya?" tanya Dasima.
"Seharusnya Neng tidak hidup bersama Tuan Edward."
"Habis dengan siapa?"
"Dengan bangsa sendiri," jawab lbu Saleha tegas.
"Tetapi, tuan saya baik," Dasima membela diri, "dia terlalu sayang kepada saya dan Nancy. Uang belanja yang diberikan kepada saya berlimpah. Masih sangat banyak bersisa, biarpun sudah digunakan untuk belanja sebulan. Belum lagi pakaian-pakaian bagus serta perhiasan yang dibelikan pada saat-saat tertentu. Saya amat bersyukur."
Setelah tamu-tamu itu pulang, Dasima termenung sebentar. Ada beberapa perkataan mereka yang tinggal di dalam hatinya. Mereka berkata bahwa hal yang harus dicapai manusia selama hidup adalah kesenangan, kekayaan, dan kehormatan. Kesenangan dan kekayaan sudah dicapai berkat tuannya, tetapi kehormatan? Mereka sering mencela. Berarti masih belum terhormat kedudukannya. Dasima termenung lagi. Tuan Edward orang baik. Tidak tercela. Tidak melukai hatinya. Itu sudah cukup terhormat. Perlukah orang lain menghormatinya? Belum puaskah dia memiliki Nancy?
Pada hari berikutnya Mak Buyung melihat Dasima termenung di kebun belakang. Dia lalu bertanya, "Sedang memikirkan apa, Neng?"
"Tidak memikirkan apa-apa."
"Sakit?"
"Saya.tidak sakit."
"Kelihatannya memikirkan sesuatu. Apa itu? Barangkali Mak Buyung bisa Bantu”.
Dasima menceritakan kesulitannya.
“Kalau saya mengaji di rumah Ibu Saleha, jangan-jangan nanti Tuan Edward marah kepada saya.”
"Kenapa Neng harus takut kepadanya? Jika dia benar-benar sayang kepada Neng, tentunya dia tidak akan melarang. Coba kalau dia dapat perempuan sebangsanya, sama-sama Wit putih, dia pasti akan membuang Neng. Dia pulang ke negerinya. Anak Neng diambil dan Neng dipulangkan ke desa asal. Neng merana sendirian di dunia. Neng ingin tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap kehidupan seperti ini?" kata Mak Buyung, "Mereka menyebut kehidupan berzina, tidak menikah sah sebagaimana ditetapkan Nabi Muhammad. Sekarang tinggal pilih, hidup dikutuk masyarakat atau hidup dalam kedamaian dengan menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya sesuai Hadits dan Qur'an?"
Dasima tidak bisa membantah. Dia mengikuti desakan-desakan Mak Buyung. Tanpa sepengetahuan tuannya dia sudah jadi "murid" Ibu Saleha.
Satu minggu kemudian Ibu Saleha berkata, "Saya akan membayar kaul yang pernah saya ucapkan sebab Samiun sudah sembuh. Kaulnya akan dibayar dengan pertunjukan topeng. Nanti Neng datang, ya."
Senang juga Dasima datang di pesta besar pada hari yang telah ditentukan itu. Tetangga datang berjubel. Samiun dan Hayati menyambut kedatangan Dasima dengan wajah ceria. Dia dipersilakan masuk dengan penuh hormat. Bunyi gamelan galaganjur menggema. Hayati membimbing Dasima ke kursi yang sudah disediakan, lain dari yang lain, sehingga ia setiap orang yang hadir pasti tahu bahwa dia tamu yang harus dipandang istimewa.
"Itu Nyai Dasima," bisik para perempuan.
Mata mereka menatap dan melirik.
"Dia cantik sekali," bisik yang lain kepada teman perempuan di sebelahnya.
"Memang dia cantik, kalau tidak bagaimana tuannya mau."
"Ya, memang nasib dialah yang mujur. Cantik itu menyebabkan dia kaya."
"Dan terkenal."
"Lihat itu tuan rumah, Samiun, seperti menghadapi seorang ratu. Segala keperluan diletakkan di dekat Nyai Dasima. Lihat, dia membawa tempat sirih dan ditawarkan kepada Nyai Dasima. Samiun keterlaluan menghormatinya. Apa maksud dia sebenarnya?"
Teman yang dibisiki balas berbisik, "Paling tidak cari muka. Zaman sekarang banyak orang cari muka. Siapa tahu Tuan Edward memberikan perhatian kepada Samiun."
"Samiun_pintar juga, ya. Bukan main."
Pertunjukan topeng itu diselenggarakan siang hari, tetapi sangat menarik perhatian pengunjung. Jam dua siang Dasima diantar pulang ke rumahnya di Gambir oleh Samiun dan Hayati.
Dua minggu berselang, Mak Buyung sudah bercakap-cakap lagi dengan Dasima.
"Neng tahu bagaimana kesan Samiun setelah dipestakan?"
"Bagaimana dia, Mak Buyung, ceritakanlah!"
"Dia selalu terkenang kepada Neng. Dia tidak enak makan dan minum. Dia ingin Neng jadi istrinya. Asalkan Neng mau, Hayati akan segera diceraikannya. Neng akan diajak naik haji ke Mekkah. Jika Neng setuju, kirimkanlah tanda cinta kepadanya!"
Dasima kaget sekali. Dia geleng-geleng kepala terhadap keberanian Samiun. Dia juga ikut termenung, tidak bisa makan dan tidur seperti biasanya. Terbayang wajah Samiun. Lelaki itu menarik juga daripada Tuan Edward yang bungkuk dan pendengarannya mulai berkurang. Lama-kelamaan Dasima benci kepada Tuan Edward karena dia sering mengulang bicara. Meskipun sudah keras bicara, Tuan Edward masih salah dengar juga. Itulah sebabnya tiga hari kemudian Dasima mengirimkan sapu tangan sutra sebagai tanda cinta kepada Samiun melalui Mak Buyung.
Keesokan harinya, setelah Tuan Edward pergi ke tempat kerjanya di Kota, Samiun datang ke rumah Dasima. Samiun berkata lembut, merayu, sambil menggenggam tangan Dasima..
"Lepaslah kau dari tangan tuanmu, Dasima," kata Samiun pada suatu siang, "dengan aku orang sebangsamu ini kau tidak akan telantar. Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan telantarkan hidupmu. Lain dengan dia orang Eropa. Sewaktu-waktu dia bisa pulang ke negeri asalnya."
Rayuan serta tindakan Samiun mulai menunjukkan hasil. Suatu sore Dasima mendekati Tuan Edward. Dia mulai mengemukakan maksudnya. Tuan Edward amat kaget. Seperti main-main saja omongan Dasima sampai di telinganya.
"Aku memang ingin pergi, Edward. Sudah lama maksudku ini. Barang-barang milikku termasuk uang simpanan, akan kubawa semua."
“Tetapi, aku belum ingin berpisah denganmu, dasima,” jawab Tuan Edward tidak kunjung mengerti, “kita tidak punya persoalan. Kau tidak bersalah, aku pun tidak. Mengapa harus berpisah? Mengapa bercerai?"
"Perjodohan kita sudah selesai," jawab Dasima, "pokoknya aku berhenti menjadi piaraanmu, Edward. Diberi izin atau tidak, aku akan pergi dari rumah ini."
Tuan Edward menangis. Dasima tidak peduli. Dia membawa seluruh harta perhiasannya yang menurut notaris bernilai enam ribu gulden zaman itu. Masih ditambah segala perabot rumah tangga yang mahal harganya. Bersama Mak Buyung, dua pedati membawa barang-barang itu ke suatu tempat di Pejambon.
Samiun, Hayati, serta lbu Saleha menerima kedatangan Dasima dengan mata hijau karena mereka berniat memiliki harta itu secara tuntas. Malam itu juga tetangga-tetangga dikumpulkan. Samiun secara sah diresmikan sebagai suami Dasima. Karena sudah menjadi suami, hak suamilah menyimpan seluruh kekayaan Dasima.
Pakaian-pakaian Dasima yang bergaya Eropa harus diganti kain atau sarung seperti dikenakan orang-orang kampung Pejambon. Cukup bahan dari cita biasa, kain hitam bekas milik Hayati. Giwang, gelang, serta cincin bertabur intan diganti pirus sederhana, kaca, atau belah rotan dari perak. Dasima juga harus bekerja keras di dapur.
Sebulan kemudian, pembantu di rumah Samiun tidak melayani Dasima lagi. Hayati dan lbu Saleha mulai tampak belangnya. Wajah mereka cemberut dan perkataan mereka kasar membentak-bentak. Menjadi kenyataan sudah nasib Dasima jauh di bawah kaki Hayati. Samiun pun berjudi. Barang-barang Dasima dihabiskan untuk bersenang-senang.
Dasima makin sedih ketika melihat sikap lbu Saleha dan Hayati sesudah harta miliknya habis. Mereka bukan saja marah dan benci, tetapi membentak, memaki, serta menghina dia serendah-rendahnya.
Dasima mulai menyesal, ingat Nancy yang ditinggalkan. Dia merasa berdosa besar kepada Tuan Edward, orang yang baik, pemurah, dan penyabar. Malu. Mau mati saja rasanya. Samiun penipu, penjudi besar, serta perampok berkedok alim. Dia masih cinta kepada Hayati. Dengan terus terang dia menggandeng penuh mesra Hayati di depannya sambil mengejek dan menyuruh Dasima bekerja di dapur. Kalau semua sudah makan, barulah giliran Dasima makan sambil menangis serta terus-menerus menyesali diri.
Samiun mengira Dasima masih mempunyai harta yang disembunyikan. Dia ingin menguasai seluruhnya, timbul hasratnya untuk melenyapkan nyawa Dasima. Dia lalu menjumpai Bang Puasa, seorang pembunuh sewaan yang tersohor pada zaman itu.
"Aku bersedia menyediakan upah yang besar, Bang," janji Samiun, "pokoknya kerja abang beres, jangan khawatir!"
"Ya," kata Bang Puasa, "tetapi selama ini aku belurn pernah membunuh perempuan. Tidak tega tanganku melakukannya."
"Apa bedanya perempuan dengan lelaki, Bang? Sama saja, bukan?"
"Tidak sama, Un. Perempuan adalah kaum yang harus dilindungi lelaki."
"Tetapi, aku sudah tidak bisa memeliharanya lagi. Jadi, selesaikan dial"
Bang Puasa bingung.
Setelah dijelaskan lagi persoalannya oleh Samiun yang nekad itu barulah algojo bayaran itu mengerti dan menyanggupi untuk melakukan tugas.
Pada hari yang ditentukan, Samiun mendekati Dasima.
"Ada undangan untuk kita berdua dari kampung Ketapang, Dasima," kata Samiun, "di sana kita menghadiri orang membaca Hikayat Amir Hamzah. Biarlah Hayati tinggal di rumah. Berdandanlah!"
Dasima gembira. Lalu, dia bersiap-siap pergi. Mereka melewati kampung Kwitang menghampiri kenalan Samiun, yaitu Bang Puasa. Lalu, mereka berjalan melalui jalan kecil menerobos kebun Mak Musanip.
Si Kuntum, pembantu Samiun, berjalan paling depan membawa obor. Malam gelap. Persis beberapa langkah setelah melewati kebun Mak Musanip, Bang Puasa segera memukulkan besi ke kepala Dasima. Akan tetapi, meleset hanya kena pundak Dasima. Dasima menjerit minta tolong. Bang Puasa mengulangi memukulkan besi itu. Kali ini kepala Dasima kena. Dasima sempoyongan. Lalu, dia terkapar tidak bernapas lagi. Kuntum lemas karena ketakutan. Samiun dan Bang Puasa cepat menyeret mayat Dasima untuk diceburkan ke kali.
Si Kuntum diancam majikannya, "Kalau sampai mulutmu menyiarkan rahasia ini, nanti kamu saya bikin seperti Dasima juga!"
Kuntum gemetar.
Tidak disangka bahwa tepat pada saat kejadian itu Mak Musanip dan Gani tidak pergi. Mak Musanip sedang buang hajat dan Gani asyik memancing ikan. Mereka langsung bersembunyi ketika terjadi pembunuhan itu. Mereka tahu semua.
Sementara itu, lbu Saleha dan Hayati sudah menjauh ke Kampung Melayu, Mereka dan Mak Buyung marah, tidak suka kepada Samiun. Pada saat terakhir hidupnya, Dasima pernah mengancam akan lapor ke pengadilan. Namun, perbuatan Dasima itu tidak harus dihukum dengan kekerasan. Itulah yang menghantui pikiran lbu Saleha dan Hayati. Ketika hari yang ditentukan oleh Samiun sudah lewat, mereka semakin resah, takut, dan curiga kepada setiap orang yang datang. Barangkali saja ada yang mau menangkap mereka.
Samiun sudah berkumpul kembali dengan Hayati.
"Sudah beres semua, Hayati," kata suaminya, "kalau ada yang tanya ke mana Dasima, bilang saja dia pulang ke Kuripan."
Wajah Samiun pucat. Bicaranya gemetar. Tindakan-tindakannya tidak tenang.
Pada zaman itu, banyak orang Eropa memanfaatkan sungai untuk mandi. Tepian sungai dibuat sedemikian rupa sehingga berundak-undak dan diberi tutup yang nyaman hingga tidak kelihatan dari luar. Ternyata, mayat Dasima tersangkut di tempat pemandian Tuan Edward. Tuan Edward masih mengenali mayat bekas kekasihnya itu. Salah seorang pembantunya menceritakan bahwa selama ini Mak Buyung sering tampak bersama Dasima. Dia yang membujuk agar Dasima mau menikah dengan Samiun. Tempat tinggal mereka di Kampung Pejambon.
Tuan Edward segera melapor kepada kepala kampung setempat. Polisi memeriksa mayat Dasima. Wali kota mengumumkan kepada seluruh masyarakat agar secepatnya memberikan bantuan keterangan. Mereka yang berhasil menyingkap peristiwa itu akan mendapat imbalan sangat memuaskan. Uang 200 pasmat pada waktu itu bukan main besarnya. Pendapatan petani biasa pada waktu itu tidak lebih dari 5 pasmat tiap hari.
Ibu Musanip dan Gani datang melapor. Mereka bercerita dengan tegas tanpa ragu-ragu bahwa pelaku utamanya adalah Bang Puasa dan orang yang terlibat langsung adalah Samiun, dibantu si Kuntum.
Polisi menyebar dan menggeledah rumah Samiun di Pejambon. Kuntum yang lebih dulu mengakui perbuatannya. Penduduk jadi ramai.
Ketika polisi datang, Bang Puasa sedang membersihkan besinya yang masih berlepotan darah kering. Kemudian, mereka langsung dimasukkan ke penjara balai kota.
Ketika polisi menangkap Kuntum, Samiun masih sempat melarikan diri ke dalam hutan. Satu regu pasukan polisi dikirim untuk menaklukkannya. Samiun menyerah dan dijebloskan ke penjara bersama Kuntum dan Bang Puasa.

Kesimpulan .
Nyai Dasima adalah cerita klasik Betawi yang menggambarkan kehidupan nyai-nyai Belanda atau Inggris masa lalu, antara lain yang berakhir tragis seperti ini. Intinya berpulang kepada sikap masyarakat waktu itu, di samping pribadi masing-masing yang iri, dengki atau memang berhati jahat tidak senang melihat kebahagiaan orang lain. Akhirnya, orang yang berbuat jahat ditangkap dan mendapat ganjaran yang setimpal.

Monday, February 05, 2007

Reog Ponorogo-cerita rakyat Jawa Timur

Alkisah, dahulu kala di Kerajaan Kediri ada seorang puteri raja yang sangat cantik bernama Dewi Sanggalanggit. Puluhan raja maupun putra mahkota datang melamar. Pada Suatu hari datang dua orang pelamar.
“Nama hamba Patih Bujang Ganong, utusan raja Kelana Suwandana dari Kerajaan Wangker. Hamba datang untuk menyampaikan lamaran Sri Baginda kepada tuan Puteri,” kata seorang pelamar sambil menyembah Dewi Sanggalangit.
“Patih Inderkala namaku! Aku utusan raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya!” kata seorang pelamar, yang bertampang angker.
”Tuan Puteri harus menerima lamaran rajaku!” katanya bernada memaksa.
Untuk menerima dan memberi jawaban lamaran raja kalian, aku minta waktu selama tujuh hari,” jawab Dewi Sanggalangit singkat.
“Anakku, kau harus segera menentukan pilihan lamaran dari kedua raja itu. Sebab kalau tidak segera memberi keputusan, kedua raja sakti pasti akan menghancurkan negeri kita,” kata ayah Dewi Sanggalangit khawatir.
“Ananda ingin mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi mereka,” ujar Dewi Sanggalangit.
“Katakan syarat itu,” desak ayahnya.
Dewi Sanggalangit menjelaskan syarat-syarat bagi para pelamar. “Pertama, ia harus bisa menyediakan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar yang dinaiki pemuda-pemuda rupawan. Kedua, ia harus membawa seekor binatang berkepala dua. Ketiga, ia harus bisa menyajikan tontonan yang menarik. “
Ayah Dewi Sanggalangit segera menyampaikan syarat tersebut kepada Patih Bujang Ganong dan Patih Inderkala. Kedua Patih itu pun segera pulang ke kerajaan masing-masing. Patih Bujang Ganong segera menghadap Raja Kelana Suwandana dan menyampaikan syarat yang dikehendaki Dewi Sanggalangit.
“Baiklah akan kusanggupi syarat yang diminta Dewi Sanggalangit,” kata raja Kelana Suwandana mantap. Berkat kesaktiannya, 144 ekor kuda kembar telah siap dipersembahkan kepada Sang Dewi.
Namun, di tengah-tengah persiapan itu Raja Kelana Suwandana dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang tidak dikenal.
Kedua orang yang tidak dikenal itu segera ditangkap. Mereka bernama Ardawalika dan Lodra, utusan Raja Singabarong yang bermaksud memata-matai Raja Kelana Suwandana.
“Apa maksud kalian memata-mataiku!” bentak Raja Kelana Suwandana.
“Terus terang hamba ingin tahu syarat-syarat yang telah dipersiapkan Sri Baginda Kelana Suwandana dalam melamar Dewi Sanggalangit,” jawab Ardawakila dan didukung Lodra.
“Setelah itu hamba diperintahkan Sri Baginda Singabarong untuk menghancurkannya,” jelas kedua utusan itu.
“Hem, kalau begitu serang Kerajaan Lodaya!” perintah Raja Kelana Suwandana kepada Patih Bujang Ganong.
Patih Bujang Ganong segera membentuk pasukan khusus untuk menyerang Kerajaan Lodaya. Setelah semuanya siap, mereka segera berangkat. Ketika pasukan Patih Bujang Ganong berada di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh pasukan Kerajaan Lodaya dibawah pimpinan Patih Iderkala. Terjadilah pertarungan seru. Kedua patih yang saling kenal itu saling mengadu kekuatan dan kesaktian. Dalam pertarungan itu, Patih Iderkala terlambat mengelak. Dalam sekejap keris bertuah Patih Bujang Ganong telah menghujam dada Patih Iderkala. Patih Iderkala tewas seketika.
Sementara itu, di Istana Kerajaan Lodaya, Raja Singabarong tidak sabar menunggu berita kedatangan Patih Iderkala.
“Aku harus segera menyusul ke Kerajaan Wengker!” kata Raja Singabarong. “Aku harus segera menghancurkannya!” tekadnya.
Raja Singabarong yang bersifat kurang sabar itu, segera memacu kudanya dengan diiringi para prajurit pilihannya menuju Kerajaan Wengker. Di tengah perjalanan, raja Singabarong dikejutkan oleh mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Ha ? Inikah mayat Patihku ? Siapakah pembunuhnya ?” kata raja Singabarong bertanya-tanya.
“Akulah pembunuhnya!” Patih Bujang Ganong datang tiba-tiba.
“Keparat! Kuhancurkan kau!” tantang Raja Singabarong.
Dalam sekejap terjadi pertarungan seru. Karena kalah sakti, Patih Bujang Ganong segera bertekuk lutut.
Saat Raja Singabarong mengarahkan ujung tombaknya ke dada Patih Bujang Ganong, bersamaan itu pula datang sekelebat seorang lelaki.
“Tunggu! Akulah tandinganmu!’ teriaknya keras. Lelaki itu tidak lain adalah Raja Kelana Suwandana.
Raja Singabarong mengurungkan niat membunuh Patih Bujang Ganong. Ia mengalihkan perhatiannya dan menjawab tantangan Raja Kelana Suwandana. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran sengit.
Berbagai ilmu olah kanuragan dan senjata sakti dikerahkan. Pohon-pohon bertumbangan terkena sasaran senjata sakti dari kedua Raja itu. Lereng gunung maupun bukit tanahnya longsor terimbas oleh berbagai ilmu olah kanuragan.
Setelah berbagai senjata maupun kesaktian diadu, pertarungan kedua Raja itu makin mengendor. Terutama tampak pada kegesitan gerak Raja Singabarong yang semakin lamban. Ia sekali-sekali berhenti dan mengaruk-garuk kepalanya. Kenapa demikian ? Hal itu dikarenakan kepalanya dipenuhi kutu-kutu ganas. Bila di Istana, raja Singabarong mempunyai seekor burung merak yang selalu setia mematuki kutu-kutu di rambutnya, sehingga kepalanya terasa dipijit-pijit.
Namun, sekarang ini dalam keadaan perang. Burung merak tidak mungkin mencari kutu-kutu di rambutnya. Nah, karena gangguan kutu, Raja Singabarong tidak dapat memusatkan perhatian dalam pertarungan itu.
“Kalau begini, lebih baik aku segera melarikan diri dari kancah pertempuran,” gumam Raja Singabarong, sambil mengambil langkah seribu.
Raja Kelana Suwandana tidak mau kehilangan kesempatan menghabisi Raja Singabarong. “Inikah binatang berkepala dua yang diinginkan Dewi Sanggalangit?” gumam Raja Kelana Suwandana, ketika melihat seekor burung merak mematuki kutu di rambut Raja Singabarong yang berkepala harimau itu.
“Jadilah kau binatang berkepala dua!” kutuk Raja Kelana Suwandana setelah mengheningkan cipta. Dalam beberapa saat seekor burung merak itu menyatu di bahu raja Singabarong. Raja Singabarong marah besar dan langsung menyerang membabi buta. Dengan gesit, Raja Kelana Suwandana mengindar. Lantas ia mengeluarkan cemeti sakti dan dicambukkannya di tubuh Raja Singabarong.
Raja Singabarong menghindar dengan cara berguling-guling di tanah. Aneh bin ajaib Raja Singabarong berubah menjadi binatang berkepala dua.
Melihat kejadian itu, Raja Kelana Suwandana merasa telah memiliki syarat yang diminta Dewi Sanggalangit. Maka, ia segera mengajukan lamaran. Perjalanan iring-iringan Raja Kelana Suwandana ke Kerajaan Kediri sungguh menarik. Rombongan pertama, berupa 144 ekor kuda kembar yang ditunggangi para pemuda tampan. Rombongan kedua seekor binatang berkepala dua, yang tak lain adalah jelmaan raja Singabarong, dan di belakangnya diikuti rombongan penari dan pembawa alat tetabuhan.
“Lamaran Sri Baginda, hamba terima,” jawab Dewi Sanggalangit mengumbar senyum. Perkawinan kedua orang itu segera dilaksanakan.
Di alun-alun Kerajaan Kediri diselenggarakan pertunjukan tari-tarian dengan diiringi berbagai tetabuhan. Pertunjukkan itu kemudian dinamai ”Reog”. Nah Karena Reog itu berasal dari Ponorogo, maka disebut Reog Ponorogo.

Pesan Moral
Keangkuhan, kesombongan, tinggi hati dapat menjadi bumerang pada diri kita. Marilah kita jauhkan sifat yang tidak baik itu, sehingga kita dapat dihargai oleh lain dan terhindar dari tulah.

Asal usul danau Lipan-cerita rakyat dari Kalimantan Timur

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing."

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.

Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

(Disadur dari Masdari Ahmad, Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1979)

Mirah Singa betina dari Marunda-Cerita Rakyat Betawi

p
ada suatu malam, centeng-centeng di rumah Babah Yong di Kemayoran terkapar di lantai. Babah Yong sendiri terikat di tiang ruang tengah. Perabot rumah berantakan. Barang-barang berharga dibawa kabur kawanan perampok.
Malam itu juga, Tuan Ruys penguasa daerah Kemayoran segera datang mempelajari bekas-bekas perampokan. Di situ juga hadir Bek Kemayoran. Petugas lain yang ikut sibuk adalah para opas.
"Tangkap Asni!" perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran. Keesokan harinya seorang pemuda yang gagah sudah diborgol dan ditahan di kantor Opas Kemayoran. Bek Kemayoran melaporkan hasil tangkapannya kepada Tuan Ruys.
"Langsung saja masukkan ke penjara, Saeyan!" perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran.
Asni keberatan dimasukkan ke penjara. Dia menjelaskan bahwa dia tidak berbuat apa-apa. Malam itu dia di rumah. Dia tidak pergi ke mana-mana. Sak-sinya juga berkata kalau malam itu Asni di rumah.
Setelah diselidiki dengan teliti, akhirnya Asni di-lepas kembali, tidak jadi dimasukkan ke penjara. Namun, ada syaratnya, yaitu dia harus sanggup me-nangkap perampok sebenarnya. Kalau tidak berhasil, dia akan dijebloskan kembali ke penjara.
Sementara itu, di Marunda ada seorang gadis remaja cantik bernama Mirah. Ibunya sudah lama meninggal, saat dia berusia tiga tahun. Bapaknya, Bang Bodong, belum mau menikah lagi. Dia selalu teringat istrinya yang tercinta. Oleh karena itu, Bang Bodong sangat menyayangi Mirah. Dia asuh Mirah dengan baik. Mirah dididik dengan penuh kesabaran agar kelak menjadi wanita yang dapat dibanggakan. Anehnya, Mirah lebih suka bermain dengan kawan--kawan lelaki. Dia senang mendayung sampai ke muara atau berenang tiap hari di Sungai Blencong. Tidak aneh kalau Mirah sering adu renang dari se-berang sungai ke seberang lainnya.
Selain itu, Mirah juga tertarik pada ilmu silat. Dia bergabung dengan kawan-kawan lelakinya untuk ber-latih silat. Dia bukan saja berbakat, tetapi juga pem-berani. Melihat hal itu Bang Bodong melatih sendiri putrinya dengan lebih tekun. Dalam waktu singkat, ketangkasan Mirah sangat mengesankan. Sering dia diadu dengan kawan-kawan lelakinya. Tidak seorang pun sanggup menandingi ketangkasan Mirah. Semua lelaki yang dihadapi dikalahkannya. Mirah sangat di-segani dan tidak ada duanya di kampung Marunda.
Bapaknya merasa khawatir terhadap masa depan putrinya. Bagaimanapun Mirah adalah wanita, kelak memerlukan seorang pendamping, seorang pelindung, dan seorang suami. Kalau semua lelaki yang datang selalu ditolak, Mirah nantinya tidak menikah. la akan menjadi perawan tua.
Pada saat itu Asni melakukan penyelidikan ke Marunda. Dia ditegur penjaga gardu. "Apa siang hari begini harus permisi juga?" tanya Asni.
Penjaga kampung Marunda tersinggung men-dengar pertanyaan itu. Asni dipelototi dan segera ditendang. Namun, Asni sudah siap. Tendangan itu membuat penyerangnya hilang keseimbangan dan terjerembab. Kawan yang lain langsung memukul kepala Asni dengan tongkat. Dengan mudahnya Asni menangkap tangan penyerangnya, dipelintir sedemikian rupa hingga orang itu mengaduh kesakitan.
Kedua penjaga kampung itu segera lari ke rumah Bang Bodong. Mereka lapor kalau mereka telah di-serang seorang perusuh yang mabuk. Kontan Bang Bodong marah-marah. Dia mencari perusuh yang di-maksud. Tanpa banyak tanya Bang Bodong me-nyerang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Repot juga Asni menangkis. Bang Bodong memang pendekar berpengalaman. Asni harus hati-hati mengambil Iangkah-langkah mengelak sehingga tidak he-ran kalau Bang Bodong hanya mendapatkan angin. Asni sigap sekali meloncat, bersalto ke belakang, koprol, dan berguling-guling, Akhirnya, Bang Bodong terengah-engah. Tanpa melakukan serangan balasan Bang Bodong sudah jatuh dengan sendirinya.
Mendengar ayahnya dikalahkan Asni yang jauh lebih muda itu, Mirah seperti melayang saat lari menyerang ke arah lawan.
Asni justru senang menghadapi pendekar wanita yang mengamuk. Jurus-jurus Mirah sangat ber-bahaya. Mirah menggunakan tongkat. Hal itu mem-buat Asni jungkir balik. Elakan disertai tepisan tangan membuat Mirah terlempar ke kolam ikan. Tentu saja Mirah ditelan lumpur, tetapi dia bangkit kembali de-ngan cepat.
Kemudian, Asni diserang dengan pedang. Entah bagaimana caranya, pedang terlepas dari tangan dan Mirah terlempar ke pohon yang bercabang-cabang. Saat jatuh ke tanah, tubuh Mirah sudah ditangkap Asni. Mirah geram sekali, sementara Asni tersenyum--senyum. Hal itu membuat Mirah makin marah. Un-tung Bang Bodong mengikuti adu silat itu dengan saksama.
"Jodohmu datang juga akhirnya, Mirah," kata ayah-nya, "kamu harus terima dia sebagai pemenang yang jantan. Kamu tidak boleh ingkar janji. Dia berhak mengambilmu sebagai istri."
Para pengikut Bang Bodong langsung bersorak. Asni diterima bekas musuhnya sebagai keluarga ba-ru. Pada saat itulah Asni menceritakan asal usul dirinya. Dia datang ke Marunda untuk mencari ka-wanan perampok. Dulu perampok itu merampok ru-mah Babah Yong di Kemayoran. Kalau sampai gagal menangkap kawanan perampok itu, dia akan masuk penjara.
Baik Mirah maupun ayahnya segera tahu siapa yang dimaksud. Tidak lain Tirta dan kelompoknya yang sering berbuat onar. Mereka tinggal di Karawang. Untuk menangkapnya tidak sulit, undang saja Tirta dan kawan-kawannya ke pesta perkawinan yang segera dilaksanakan di kampung Marunda.
Undangan disebar, pesta dilangsungkan besar-be-saran. Tamu-tamu Bang Bodong datang dari berbagai pelosok. Ketika Tirta datang, dia amat kaget bertemu dengan Bek Kemayoran. Ternyata bukan Bek saja yang dijumpai, Tirta juga melihat Tuan Ruys. Ke-mudian yang membuatnya paling tidak tenteram du-duk adalah opas-opas dan para centeng Babah Yong. Mereka seperti sudah mengepung dirinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang dapat dilakukan Tirta kecuali mengeluarkan pistolnya. Dia menga-cung-acungkan senjata api itu kearah Bek Kemayoran dan segera ditembakkan. Letusan itu membuat para tamu panik dan bubar. Bang Bodong bermaksud menghalangi Tirta yang ingin menembak Iagi. Pistol meletus dan melukai Bang Bodong. Pen-dekar tua itu terpental dart dadanya berdarah. Dia pingsan tidak sadarkan diri.
Tirta kabur dari tempat pesta itu. Opas-opas mengejarnya. Centeng-centeng ikut mengejar sambil menghunus golok masing-masing. Akan tetapi, dari semua mengejar itu justru Mirah paling cepat. Dia segera tampak berebut pistol dengan Tirta. Setelah beberapa saat terguling-guling di pasir pantai, tiba--tiba letusan pistol menggema. Tirta tampak berwajah pucat sambil merintih kesakitan.
"Pokoknya saya sudah lega dapat berjumpa denganmu, Mirah. Hanya tenda ini yang dapat saya berikan kepadamu," kata Tirta.
Setelah bungkusan itu dibuka, Mirah melihat pen-ding emas yang indah. Dengan terharu Mirah memperkenalkan Asni yang datang menyusul.
"Ini suami saya, Tirta," kata Mirah.
Tirta dan Asni bertatapan.
"Kamu adik saya, Asni," kata Tirta sambil me-meluk, "kita satu ayah. lbu saya dari Karawang, lbumu dari Banten."
Tidak lama kemudian Tirta kehabisan darah dan tidak bernapas lagi. Asni dan Mirah amat sedih. Bang Bodong sudah siuman, dari pingsannya dan men-dapatkan perawatan.
Beberapa minggu kemudian, Asni dan Mirah meninggalkan Marunda. Mereka telah menjadi pasangan suami istri yang berbahagia dan tinggal di Kemayoran sampai tua.

Thursday, January 25, 2007

Mamie si anak ajaib - Irian Jaya

Mamle dikejar para lelaki peserta tari untuk dibunuh. Dengan cepat Mamle melarikan diri dan para lelaki itu terus mengejarnya, maka kejar-kejaran pun terjadi. Sewaktu berusaha melarikan diri itu Mamle melihat pohon Enau. Kemudian ia menyadap pohon enau itu dengan seruas Drin (bambu kecil).

"Tuak ini harus dapat memabukkan orang-orang yang akan membunuhku" kata Mamle dalam hati. Tidak berapa lama kemudian pengejar-pengejar itu sampai ditempat Mamle.

"Saudara-saudara, tenanglah dahulu. Sekarang aku menyerah, aku rela kau bunuh. Tapi sebelum kelian melakukannya, minumlah dulu tuak ini sampai habis!" kata Mamle.

Tanpa curiga karena haus, para pengejar itu meminum tuak Mamle. Ketika tuak itu akan habis, Mamle menepuk bagaian bawah bambu itu ke tanah sambil berkata: "Nhon oli! (kembali)" Seketika bambu itu penuh lagi dengan tuak.

Akhirnya, para pengejar Mamle itu menjadi mabuk karena kebanyakan minum tuak. Kesempatan baik itu tidak disia-siakan oleh Mamle. Ia segera mengunakan kesaktiannya, dibuatnya jurang yang curam untuk membentengi orang-orang itu.

Ketika sadar, para pengejar itu tidak bisa berbuat apa-apa karena disekitarnya telah terbentang jurang yang curam, sehingga mereka tidak dapat lagi melakukan pengejaran terhadap Mamle.

Mamle kemudian mengubah dirinya menjadi seekor burung layang-layang dan mendatangi mereka. Orang-orang yang mau tunduk, ia selamatkan dan mereka yang tidak mau, ia tinggalkan hingga mati kelaparan dan menjadi batu. Kedua syolo (anak perempuan paman) yang menaruh hati kepada Mamle juga ikut mati. Mereka menjadi batu dan disebut sitri (tempat hati terlambat). Kedua batu itu apabila diusap atau diperolok, maka akan turun hujan yang sangat lebat. Konon batu tersebut sampai sekarang masih ada.

Lama setelah peristiwa itu, Mamle diundang oleh seseorang untuk membantunya membuka ladang baru. Tetapi Mamle datang terlambat.

Orang-orang yang ikut gotong royong membuka ladang itu telah beristirahat kecapaian. Mamle kemudian membuat api dan mengumpulkan kayu-kayu kering. Dengan sebelah tangannya, kayu-kayu itu sekali tarik sudah bertumpuk dengan baik. Semua kayu dan belukar di tempat itu akhirnya terbakar hingga habis dan ladang pun siap ditanami. Orang-orang yang hadir ditempat itu menjadi takjub dan keheranan melihat cara kerja Mamle.


Mamle Si Anak Sakti, Cerita Rakyat Irian Jaya Bagian 3
culture: Wednesday, 26 Feb 2003 14:38:23 WIB

Pada suatu hari Mamle hendak mengunjungi bibinya yang menikah dengan orang Sawiat di tanah Meybat. Ditengah perjalanan Mamle mencambut dua buah gunung, yaitu gunung Yilo dan gunung Tless.

Kedua gunung itu kemudian diikat dengan tali dlimit dan diapit dua lengannya. Tempat bekas gunung itu menjadi dua telaga dengan airnya berwarna biru. Didalam telaga itu hidup berbagai macam ikan air asin.

Setelah sampai didekat Meybat, Mamle mengikat kedua gunung itu di pohon kara (sejenis pohon gabus). Mamle kemudian menuju ladang baru. Ketika ia meminta makan, orang-orang ditempat itu mencelanya. Mamle kemudian menuju ladang baru sebelahnya, yaitu ladang bibinya. Bibinya segera memberi makan Mamle.

Setelah orang-orang diladang itu kembali kerumah masing-masing, Mamle mengambil dua gunung yang telah diikatnya tadi. Kedua gunung itu kemudian diletakkan di ladang baru milik orang-orang dusun. Kedua gunung itu sekarang masih ada.

Pada suatu hari ibu Mamle sakit keras, tetapi tidak ada seorangpun yang menjeguknya. Bahkan, sampai meninggal tak ada orang yang melayat. Dengan sedih Mamle membawa jenazah ibunya ke khalikhat (tempat menyimpan mayat). Setelah tiga hari, Mamle mengadakan Dlen (pesta perkabungan tiga hari) tanpa dihadiri orang.

Setelah upacara perkabungan selesai, Mamle meninggalkan daerah pegunungan dan pergi ke daerah landai. Ia tinggal bersama penduduk Kabra. Ditempat itu Mamle membuat kejadian-kejadian yang menajubkan. Bila ingin makan, ia cukup mengatakan :

"Datanglah ikan, udang, serta seisi sungai Serumuk !" dan seketika itu juga datanglah berbagai macam ikan, serta lauk pauk lain yang siap dimakan.

Dihari- hari senggangnya, Mamle mengajar kebajikan kepada orang-orang Srit. Ia datang ketempat itu sambil mengenakan dua buah alas kaki yang terbuat dari batu datar. Konon sampai sekarang, dua buah batu datar itu masih ada disana.

Demikianlah legenda yang mengisahkan anak sakti Mamle. Masyarakat disana, sampai sekarang masih menganggap bahwa gunung Yilo dan gunung Tless di tanah Meybat serta dua buah batu datar di daerah Srit tersebut ada kaitannya dengan legenda Mamle.

Sigarlaki dan Si Limbat-Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara

Pada jaman dahulu di Tondano hiduplah seorang pemburu perkasa yang bernama Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang luput dari tombakannya.

Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat. Meskipun terkenal sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil memperoleh satu ekor binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat melaporkan pada majikannya bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri orang.

Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging persediaan mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan tega menuduh dirinya sebagai pencuri.

Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang mencuri. Caranya adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam. Bersamaan dengan itu Si Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari kolam berarti Si Limbat tidak mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih dahulu maka terbukti ia yang mencuri.

Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia berkehendak untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan Sigarlaki menancapkan tombaknya.

Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan minum di kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi hutan itu. Tetapi tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah dengan Si Limbat. Tetapi ia meminta agar pembuktian itu diulang lagi.

Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja menancapkan tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar. Iapun menjerit kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya Si Limbat yang menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki karena sembarangan menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.

(Diadaptasi secara bebas dari Drs. J Inkiriwang dkk, "Sigarlaki dan si Limbat," Dept. P dan K, Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978/1979)

Dayan Nada -Nusa Tenggara Barat

ALKISAH, di zaman antah berantah, ada raja jin wanita bertakhta di puncak Gunung Rinjani. Ratu jin itu bernama Dewi Anjani. Konon, Dewi Anjani memelihara burung bernama Beberi. Burung ini berparuh perak dan berkuku baja. Pada waktu itu, daratan Pulau Lombok masih berupa bukit berhutan lebat dan belum dihuni manusia.
Pada suatu hari, patih Dewi Anjani bernama Patih Songan mengingatkan Dewi Anjani akan pesan kakek Dewi Anjani. Kakeknya telah berpesan agar kelak Dewi Anjani mengisi Pulau Lombok dengan manusia.
Kemudian, Dewi Anjani mengajak Patih Songan untuk memeriksa seluruh daratan pulau itu. Karena tanaman di hutan terlalu rapat, Dewi Anjani dan Patih Songan tidak dapat berjalan dengan leluasa. Dewi Anjani berkata kepada Patih Songan, "Paman, karena pulau ini penuh sesak dengan tumbuhan, pulau ini kuberi nama Pulau Sasak."
Begitulah ceritanya sehingga pulau ini akhirnya bernama Bumi Sasak. Sekarang lebih dikenal dengan nama Pulau Lombok.
Setelah mengetahui bahwa pulau itu penuh dengan hutan dan bukit, Dewi Anjani memerintahkan burung Beberi untuk meratakan sebagian daratannya. Bagian yang datar akan menjadi tempat bercocok tanam bagi manusia nantinya.
Akhirnya, Beberi berhasil meratakan bagian selatan pulau itu. Dewi Anjani pun segera memanggil para jin.
"Wahai saudara-saudara, aku bermaksud mengubah wujud kalian menjadi manusia," kata Dewi Anjani setelah para jin berkumpul. Para jin itu sebagian setuju dan sebagian lagi menolak.
"Untuk apa Tuanku mengubah kami menjadi manusia?" kata jin yang tidak setuju.
Dewi Anjani sangat marah. Ia menyuruh pengikutnya untuk menangkap jin-jin yang menolak. Para jin itu berlari kian kemari menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di batu besar, pohon kayu, gua, dan tempat lainnya.
Setelah keadaan aman, Dewi Anjani mengubah dua puluh pasang jin bangsawan menjadi manusia. Seorang di antaranya ditunjuk sebagai pemimpin. Pemimpin itu memunyai seorang istri yang sedang hamil. Setelah masanya, lahirlah seorang anak lelaki.
Begitu lahir, anak itu sudah pandai lari, bicara, dan makan sendiri. Ia langsung minta makan saat itu juga. lbunya segera menyediakan makanan. Ajaib sekali, bayi itu makan dengan sangat lahap. Tiga bakul besar nasi dan lauk habis dimakannya. Ayah dan ibunya heran melihat kelakuan anak itu. Anak itu pun diberi nama si Doyan Nada, julukan untuk orang yang kuat makan. Tubuh Doyan Nada pun tumbuh sangat cepat karena ia kuat makan.
Ayah Doyan Nada sengaja merobohkan batang kayu yang ditebangnya ke arah Doyan Nada.
Karena ayah Doyan Nada seorang pemimpin suku, ia sering diundang kenduri. Doyan Nada selalu minta untuk ikut. Tetapi, ayahnya selalu mendapat malu di kenduri itu karena anaknya makan sangat lahap. Akhirnya, ayahnya kecewa dan marah.
"Carilah makan untuk dirimu sendiri, aku tak kuat memberimu makanan lagi," kata ayahnya geram.
Doyan Nada pun pergi meminta-minta kepada orang kampung.
Suatu hari, Doyan Nada diajak ayahnya pergi menebang pohon di hutan. Ayahnya sengaja menyuruhnya berdiri pada arah kayu yang akan roboh. Tubuh Doyan Nada pun tertindih batang kayu besar yang roboh itu.
"Nah, matilah kau anak pembuat malu," gerutu ayahnya segera pulang. Ketika ibu Doyan Nada menanyakan anaknya, si suami berdusta.
"Mana aku tahu ia tersesat di hutan, mungkin sudah ditelan ular besar!" jawabnya.
Dewi Anjani melihat kejadian itu dari anjungan istana di puncak Gunung Rinjani. la memerintahkan burung Beberi untuk memercikkan air Banyu Urip. Air itu dapat membuat orang mati hidup kembali. Setelah diperciki air itu, Doyan Nada hidup lagi. Kemudian, pohon kayu besar yang menindihnya itu dibawa pulang. Sesampai di rumah, ia berteriak, "Ibu, lihatlah hasilku mencari kayu!" la pun membanting batang kayu itu.
Diam-diam ayah Doyan Nada merasa takjub. la mencari akal lain. Keesokan harinya, Doyan Nada diajak ayahnya pergi mencari ikan di lubuk besar. Ketika Doyan Nada sedang asyik mencari ikan, sang ayah mendorong sebuah batu besar ke arahnya. Batu besar itu menimpa tubuh Doyan Nada. Doyan Nada pun mati. Ayahnya cepat-cepat pulang. Kepada istrinya ia berdusta lagi ketika ditanya mengapa Doyan Nada tidak ikut pulang.
Sekali lagi, Dewi Anjani melihat kejadian itu. la memerintahkan burung Beberi untuk membawa Banyu Urip. Setelah air itu dipercikkan, Doyan Nada hidup kembali. Batu besar yang menimpa dirinya dibawa pulang dan dibanting di luar halaman. Konon, dari batu itulah desa itu mengambil nama, yaitu Selaparang. Sela berarti batu dan parang berarti besar dan kasar.
Suatu malam, ibu Doyan Nada berkata kepada putra tunggalnya, "Wahai anakku sayang, jika engkau tetap tinggal di sini, ayahmu pasti akan mencelakakanmu lagi. Karena itu, pergilah engkau mengembara mencari kehidupan sendiri. Sebagai bekal, lbu buatkan tujuh buah ketupat untukmu."
Doyan Nada pun bertangis-tangisan dengan ibunya. Malam itu juga ia berangkat mengembara. la berjalan siang malam menempuh hutan belantara, tebing, dan jurang. Padang luas dilaluinya, sungai deras diseberanginya. Setiap diadang binatang buas, ia melemparkan sebuah ketupat pemberian ibunya. Anehnya, binatang-binatang penghalang itu akan menyingkir memberi jalan setelah mereka memakan ketupat itu.
Akhirnya, Doyan Nada sampai di Gunung Rinjani. Ketika sedang berjalan melalui hutan, ia mendengar suara orang merintih. Suara itu didekatinya. Ternyata, suara itu berasal dari seorang pertapa yang terlilit akar beringin yang amat kokoh. Karena terlalu lama bertapa, akar beringin itu menjerat tubuhnya. Doyan Nada pun melepaskan lilitan itu. Orang itu menjadi sahabatnya dan diberi nama Tameng Muter. Tameng Muter sudah bertapa lebih dari sepuluh tahun karena ia ingin menjadi raja Lombok yang berkuasa.
Doyan Nada melanjutkan perjalanan didampingi Tameng Muter. Di suatu tempat, mereka melihat ada seorang pertapa menangis dililit pohon rotan. Lebih dari dua belas tahun ia bertapa di situ sampai rotan melilit tubuhnya. Lilitan orang itu pun dilepaskan Doyan Nada dan ia menjadi sahabatnya. Sahabat baru itu diberi nama Sigar Penjalin.
Setelah itu, Doyan Nada dan kedua sahabatnya mengembara menuju puncak Gunung Rinjani. Mereka berburu rusa liar untuk dimakan.
Suatu malam, dendeng rusa mereka dicuri raksasa bernama Limandaru. Mereka mengejar raksasa itu. Sampai Gua Limandaru di Sekaroh, Doyan Nada membunuh Limandaru.
Setelah itu, Doyan Nada masuk ke dalam gua. la menemukan tiga orang putri cantik di dalam gua. Para putri itu ditawan si raksasa. Mereka berasal dari Madura, Mataram Jawa Tengah, dan Majapahit. Doyan Nada pun memperistri putri dari Majapahit, Tameng Muter memperistri putri dari Mataram, dan Sigar Penjalin memperistri putri dari Madura.
Pada suatu hari, seorang nakhoda dari Pulau Jawa datang berdagang ke Pulau Lombok. Ketiga sahabat itu menerima kedatangan sang nakhoda.
Nakhoda terpesona melihat ada tiga putri cantik di pulau itu. la ingin menukar mereka dengan barang dagangannya. Doyan Nada sangat marah, lalu menangkap sang nakhoda. Kapal beserta anak buah dan barang-barang nakhoda itu diambil. Ketiga sahabat itu membagi anak buah kapal dan barangnya, sedangkan nakhoda kapal menjadi abdi Doyan Nada.
Kelak, ketiga sahabat ini mendirikan kerajaan baru di Lombok. Doyan Nada menjadi Raja Selaparang, Tameng Muter menjadi Raja Pejanggi, dan Sigar Penjalin menjadi Raja Sembalun

Legenda batu menangis-Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat

Di sebuah bukit yang jauh dari desa, di daerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus, dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan di belakang sambil membawa keranjang dengan pakaian yang sangat dekil. Karena mereka hidup di tempat yang terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan di belakang anak gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu. "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan di belakang itu ibumu ?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "la adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekat lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu ?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. "la adalah budakku !"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. lbunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawaban yang sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu itu berdo'a.
"Ya, Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini! Hukumlah dia".
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya:
"Oh, Ibu, Ibu, ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu.... ibu... ampunilah anakmu "Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut "Batu Menangis".
Demikianlah cerita yang berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercayai bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Legenda Telaga Bidadari - Cerita Rakyat dari Kalimantan Selatan

Legenda Telaga Bidadari ini berasal dari desa Pematang Gadung. Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimatan Selatan.
Alkisah, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam keindahan di dalam hutan. Saat itu, Awang Sukma langsung membangun tempat tinggal di atas dengan berbagai penghuni hutan. Kehidupan di hutan sangat rukun dan damai. Para penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu.
Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu mengadakan perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu ketika ia tiba di sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih dan bening bagaikan sebuah cermin. Letak telaga berada di bawah kerindangan pepohonan. Beberapa pohon buah-buahan tumbuh subur dan berbuah lebat. Berbagai jenis burung, tinggal dengan aman di sekitar telaga itu. Bermacam seranggapun dengan riangnya menghisap madu bunga.
“Hem, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keajaiban yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma penuh kekaguman.
Ia tinggal di telaga itu sampai beberapa hari.
Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka dari itu ia dikenal dengan nama Datu Suling.
Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang dibawakan sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma meninggalkan telaga yang indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar suara riuh rendah di telaga.
“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda tanya.
Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip telaga.
“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari dari khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.
Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang bakal terjadi pada tujuh gadis cantik itu.
Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak menghiraukan selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di sekitar telaga. Selendang itu yang mereka gunakan untuk terbang. Ada sebuah selendang yang ditaruh di sebuah dahan pohon. Kebetulan sekali pohon itu berada didekat tempat Datu Awang Sukma mengintip.
“Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku harus bisa mendapatkan sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang Sukama yakin.
“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.
Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri yang mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil selendang masing-masing.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu. Putri Bungsu bingung tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang kembali ke Khayangan. Saat itu, Datu Awang Sukma keluar dari tempat persembunyian.
“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun tiada jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang berada didepannya.
Datu Awang Sukma sangat kagum akan kecantikan putri Bungsu. Demikian pula putri Bungsu sangat bahagia berada di dekat seorang pemuda tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan yang amat serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang Sukma berpadu dengan kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu. Tidak berapa lama Putri Bungsu mengandung. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini tidak ada yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami Datu Awang Sukma dan Putri Bungsu.
Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam tersebut mengais padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam hitam.
“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.
Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi bumbung.
“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.
Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat.
Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang ditujukan kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat selendang miliknya yang sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur dengan rasa cinta yang dalam kepada suaminya.
“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.
Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya yang masih balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu.
Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma.
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.
“Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan kedalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya,” tambahnya.
Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar dengan baik apa yang diucapkan istrinya.
Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya. Seketika itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari meratap sedih berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa. Datu Awang Sukmapun semakin melupakan istrinya.
Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai sekarang desa Pematang Gadung mematuhi larangan itu.


PESAN MORAL :
Legenda Telaga Bidadari mengajarkan kita, jika kita menginginkan sesuatu hendaknya dengan cara halal. Kita tidak boleh mencuri, merampok harta milik orang lain, karena sewaktu-waktu dapat menjadi batu sandungan dalam meraih cita-cita. Kitapun tidak boleh menyimpan perbuatan busuk, karena pada suatu saat akan ketahuan juga.

Manusia Ular - Cerita Rakyat Kalimantan Tengah

Dahulu kala ada seorang bernama Sangi. Dia adalah seorang pemburu yang tangguh. Sangi pandai menyumpit buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu ia selalu berhasil membawa pulang daging babi hutan dan daging rusa.
Sangi bertempat tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Pada suatu hari Sangi berburu. Dari pagi hingga petang ia tidak berhasil menemukan seekor binatang buruan pun. Keadaan ini membuatnya amat kesal. Karena hari telah mulai sore, ia pun pulanglah dengan tangan kosong. Di dalam perjalanan pulang ia melihat bahwa air tepi sungai sangat keruh. Ini pertanda bahwa seekor babi hutan baru saja minum air di sana. Dugaannya itu diperkuat lagi dengan adanya bekas jejak kaki babi hutan.
Dengan penuh harapan Sangi terus mengikuti jejak binatang itu. Benar saja, tidak berapa jauh dari sana, ia menemukan babi hutan yang dicarinya itu, tetapi dalam keadaan yang amat mengerikan. Sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di dalam mulut seekor ular raksasa. Kelihatannya tidak mungkin ia akan hidup kembali. Pemandangan mengerikan ini sangat menakutkan Sangi. Ia tidak dapat lari sehingga tidak ada cara lain kecuali bersembunyi di dalam semak-semak.
Beberapa waktu telah berlalu. Ular raksasa itu tidak dapat juga menelan mangsanya. Dicoba dan dicobanya berkali-kali, namun selalu gagal. Akhirnya sang ular menghentikan usahanya. Dengan murkanya dipalingkanlah kepalanya ke arah tempat Sangi bersembunyi. Secara gaib, ia berganti rupa menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Ia menghampiri Sangi dan memegang lengannya.
Pemuda itu menggertak dan memerintahkan kepada Sangi, “Telan babi hutan itu bulat-bulat ikarena engkau telah mengintip sang ular raksasa yang sedang menelan babi hutan.”
“Saya... tapi saya... tidak... bisa.”
“Ayo cepat lakukan...”
Dengan penuh rasa ketakutan Sangi melaksanakan perintah itu. Ajaib sekali, ternyata Sangi mampu melaksanakan perintah pemuda itu dengan mudah sekali, seolah-olah ia sendiri benar-benar seekor ular.
Pemuda asal ular itu berkata bahwa karena Sangi telah berani mengintainya, sejak saat itu pula Sangi berubah menjadi seekor ular jadi-jadian.
“Untuk sementara engkau tidak usah risau,” kata pemuda asal ular itu kepada Sangi. “Selama engkau dapat merahasiakan kejadian ini, engkau akan tetap dapat mempertahankan bentuk manusiamu.”
Pemuda asal ular itu lalu menghibur Sangi dengan mengatakan bahwa nasib yang menimpa Sangi sebenarnya tidaklah terlalu jelek. Sebab, sejak kejadian itu ia bukan lagi merupakan makhluk yang dapat mati sehingga ia dapat mempertahankan kemudaannya untuk selama-lamanya.
Demikianlah, Sangi terus berusaha agar rahasianya ini tidak diketahui orang, termasuk anggota kerabatnya sendiri dan anak cucunya. Dengan cara ini ia berhasil mencapai umur 150 tahun. Akan tetapi, keadaan yang luar biasa ini menimbulkan rasa aneh pada keturunannya. Mereka ingin mengetahui rahasia kakeknya yang dapat berusia panjang dan tetap dapat mempertahankan kemudaannya.
Oleh karena itu, sejak itu mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan berbagai pertanyaan. Akhirnya karena terus-menerus didesak, Sangi pun terpaksa membuka rahasianya, melanggar larangan berat itu. Sebagai akibatnya, sedikit demi sedikit tubuhnya berganti rupa menjadi seekor ular raksasa. Pergantian ini dimulai dari kakinya. Sadar akan keadaan ini, Sangi menyalahkan keturunannya sebagai penyebab nasib buruk yang sedang menimpanya.
Dalam keadaan geram ia pun mengutuki keturunannya, yang dalam waktu singkat akan mati seluruhnya dalam suatu pertikaian di antara sesamanya.
Sebelum Sangi menceburkan dirinya ke dalam Sugai Kahayan bagian hulu untuk menjadi penjaganya, ia masih sempat mengambil harta pusakanya yang disimpan di dalam satu guci Cina besar. Harta pusaka yang berupa kepingan-kepingan emas itu lalu disebarkannya ke dalam air sungai. Sambil melakukan ini ia pun mengucapkan kutukan yang berbunyi :
“Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, akan mati tak lama setelah itu, sehingga hasil emas dulangannya akan dipergunakan untuk mengupacarakan kematiannya.”
Penduduk setempat percaya kisah ini pernah terjadi. Kepercayaan mereka itu diperkuat karena di daerah mereka aka anak Sungai Kahayan yang bernama Sungai Sangi. Menurut beberapa orang yang sering berlayar dengan biduk atau perahu bermotor, mereka pernah melihat seekor ular raksasa. Kepalanya saja berukuran sebesar drum minyak tanah. Ular raksasa itu mereka lihat berangin-angin di atas bungkah-bungkah batu sungai pada bulan purnama di musim kering.
Selain itu sampai kini orang-orang di sana tidak berani mendulang emas yang katanya sebesar biji labu kuning dan banyak terdapat di sana.
Kita jangan terlalu ingin mengetahui rahasia orang, apabila sampai terdesak agar ia membukanya. Hal tersebut dapat merugikan orang itu dan mungkin juga akan merugikan kita sendiri.



SUMBER
BUKU : Kumpulan Cerita, Legenda, Dongeng Rakyat
PENULIS : MB. Rahimsyah
PENERBIT : “SINAR ILMU” Jakarta, tahun 2004

Manik Angkeran - Cerita Rakyat dari Bali

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Sumbar: http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Cerita_Rakyat/Bali.htm

Joko Tole - Madura

Joko Tole

Alkisah, di pulau Madura ada sebuah desa, namanya Pakadhangan. Desa ini termasuk wilayah Kabupaten Sumenep. Seorang pandai besi sangat terkenal bernama Empu Keleng, Empu Keleng mempunyai seorang anak angkat bernama Joko Tole. Ayah kandung Joko Tole adalah seorang raja yang bernama Adipeday. Ia sedang bertapa di gunung Ghegher. Ibunya bernama Raden Ayu Pottre Koneng, bertapa di gunung Pajhuddhan, wilayah Pamekasan.
Saat itu Kerajaan Majapahit bertahta seorang raja bernama Sri Baginda Brawijaya. Ia memerintahkan membuat pintu gerbang besi yang besar dan megah. Empu Keleng dipanggil untuk ikut melaksanakan pembuatannya. Ia pun berangkat ke Majapahit.
Pintu gerbang Majapahit sudah dikerjakan selama setahun tetapi belum selesai. Para pandai besi merasa terlalu lama meninggalkan rumahnya untuk mengerjakan gerbang itu. Empu Keleng pun jatuh sakit. Joko Tole, ayahmu sedang sakit, berangkatlah segera ke Majapahit menengok ayahmu, kata Ibu Joko Tole. Joko Tole pun segera menyusul ayahnya di Majapahit. Pekerjaan di bengkel besi diserahkan kepada teman-temannya.
Setelah berjalan melewati beberapa desa, Joko Tole memasuki sebuah hutan yang lebat. Di situ ia bertemu seseorang Selamat datang Joko Tole, seru seorang yang mengenakan ikat kepala dan jubah hitam. Jangan terkejut, aku Adipeday, ayahmu, tambahnya. Joko Tole segera mencium tangan ayahnya.
Ayah Joko Tole menyampaikan bahawa membangun pintu gerbang besi Majapahit tidak mudah dan lama. Ia memberi bunga hutan yang harus dimakan. Kelak akan keluar pateri dari dalam pusar, setelah tubuh Joko Tole dibakar. Bunga hutan itu diterima Joko Tole dan dimakannya. Kemudian Joko Tole meneruskan perjalanannya dan ditemani adiknya bernama Agus Dewi.
Kedua bersaudara ini berjalan beriringan. Mereka asyik berbicara tetapi selalu waspada jika ada ancaman bahaya. Perjalanan mereka menuju pantai untuk menyeberangi selat Madura. Ketika tiba, betapa senangnya mereka melihat perahu. Sang nakhoda memerintahkan awak perahu untuk menyiapkan segalanya, namun ia tidak suka Joko Tole naik ke perahunya. Karena itu ia berbohong dengan mengatakan perahu sudah penuh.
Ternyata perahu itu tidak bisa berlayar, karena kesaktian Joko Tole. Setelah akhirnya Joko Tole dan Agus Dewi diperkenankan naik perahu, barulah perahu itu dapat berlayar.
Daratan pulau Jawa telah nampak. Perahu segera merapat ke dermaga. Tibalah mereka di kota Gresik. Di alun-alun, keduanya didekati oleh seorang lelaki, ia seorang Perdana Menteri yang diperintahkan untuk mencari kedua pemuda itu. Kalian tentu pemuda yang dalam impian raja Gresik. Kata sang perdana Menteri itu. Raja Gresik sangat gembira melihat kedatangan kedua anak muda itu. Keduanya dianggap anak sendiri. Setelah beberapa hari mereka tinggal di istana Gresik, Joko Tole mohon diri untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Sedang Agus Dewi tetap tinggal di istana, dan kelak akan dinikahkan dengan puteri kerajaan dan bertahta menjadi raja di Gresik.
Setelah Joko Tole sampai di Majapahit. Ia bertemu dengan Empu Keleng. Mereka saling melepaskan rindu. Sementara itu, Sang raja Brawijaya kecewa karena pintu gerbang belum beres. Saya minta laporan kenapa pekerjaan kalian belum siap? sabda sang Raja. Semua pandai besi terdiam. Kalian harus bekerja keras agar besok pagi bisa selesai, sabdanya lagi. Ketika melihat ada anak muda sang raja bertanya, Hai, siapa kamu anak muda? Hamba Joko Tole, anak Empu Keleng. Kata Joko Tole sambil menyembah. Ia menerangkan, hendak membantu ayahnya. Ia pun menyanggupi menyelesaikan pintu gerbang dalam satu malam termasuk dihukum berat, bila tidak menepati janji.
Empu Keleng merasa disambar petir mendengar kesanggupan Joko Tole. Bila tidak berhasil, pasti Joko Tole akan menerima hukuman berat. Sebaliknya para pandai besi sangat girang. Sesudah tengah hari, Joko Tole ke tempat pembangunan pintu gerbang. Bapak-bapak sekalian, aku mempunyai pateri yang sangat hebat. Bakarlah badanku, dari dalam pusarku akan keluar pateri. Jika sudah keluar paterinya rendamkan badanku ke dalam kolam, kata Joko Tole meyakinkan. Badan Joko Tole dibakar dengan kayu, keluarlah benda cair putih dari pusarnya. Bagian-bagian pintu gerbang segera dilekatkan. Akhirnya pintu gerbang yang indah dan megah selesai dalam satu malam.
Raja Brawijaya sangat gembira menyaksikan pintu gerbang itu. Para pandai besi mendapat hadiah. Sedangkan Joko Tole menerima hadiah paling besar berupa perhiasan emas dan perak. Empu Keleng segera pulang ke Madura. Tolong bawalah semua hadiah dari Raja untuk ibu di rumah, kata Joko Tole. Saya akan tetap tinggal di Majapahit. Raja Brawijaya sangat berterima kasih kepada Joko Tole. Ia diangkat menjadi menteri Muda. Namanya diganti menjadi Menteri Kodapanole.
Pada suatu hari, salah seorang Bupati dari Blambangan memberontak Raja Brawijaya. Kau kuperintahkan meredam perlawanan Bupati Blambangan. Tenyata Bupati Blambangan telah melarikan diri ke hutan. Ia akhirnya berhasil menangkap Bupati itu. Raja Brawijaya semakin menaruh kepercayaan kepada Menteri Kodapanole. Ia dinikahkan dengan putri raja. Perayaan pernikahan berlangsung meriah.
Tidak lama kemudian, menteri Kodapanole memohon pulang ke Madura. Ia memerintah sebagai Bupati Sumenep. Ia sangat dicintai rakyatnya. Ayah angkatnya, Empu Keleng diajak untuk tinggal di Kabupaten. Aku ingin membangun desa, kata Empu keleng menolak ajakan secara halus dari Bupati Sumenep itu. Empu Keleng dan istrinya tetap tinggal di desa.
Pada suatu hari menteri Kodapanole sakit keras. Akhirnya ia meninggal dunia. Rakyatnya berkabung. Jenasah menteri Kodapanole dimakamkan di desa Lanjhuk. Sebuah desa yang tidak jauh dari kota Sumenep.

dwpp/april2005/disadur dari buku cerita asli Indonesia no.38/penerbit elex media merchandising/ds

Kuku Pacanaka - Cerita rakyat dari Jawa Timur

Alkisah, gunung Mahameru (Semeru) di Propinsi Jawa Timur adalah salah satu tempat bertapa para tokoh pewayangan. Gunung Mahameru tampak besar, kokoh, dan menjulang tinggi bagaikan menembus langit. Selain itu gunung Mahameru seolah menyimpan berbagai misteri yang tak pernah bisa diungkapkan. Konon Bima, putra kedua Pandawa pernah bertapa di gunung Mahameru mencari kesaktian berupa Kuku Pancanaka. Ia putra Pandawa yang kuat, teguh dan tak kenal menyerah. Dengan niat dan keyakinan yang teguh, Bima mencari tempat bertapa di gunung itu dan menemukan sebuah gua raksasa.
Gua raksasa itu didiami berbagai hewan. Selain itu bau yang tak sedap timbul dari dalam gua. Sang Bima sengaja mencari tempat di dalam gua, dan mulai bertapa. Ia bersila dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas kedua lututnya. Pandangan matanya dipusatkan pada satu titik di depannya. Gerak pernapasannya diatur sesuai dengan irama tetesan air di dalam gua. Iapun berkonsentrasi penuh, sehingga apa yang terjadi disekelilingnya tak dihiraukan.
Setelah beberapa bulan bertapa, ternyata belum ada tanda-tanda keinginannya terkabul. Bahkan ia mengalami berbagai godaan dari jin penunggu gua.
“Akulah penghuni gua, ayo hentikan tapamu dan makanlah makanan enak dan lezat ini,” kata jin yang hanya berwujud kepala manusia menyeramkan itu. Datang pula bergantian beberapa wanita cantik menggoda. Berbagai tarian lucu pun diperagakan oleh hewan-hewan. Namun Bima tetap tak bergeming.
Sementara itu, para dewa di Kahyangan bersidang membicarakan tujuan dan maksud Bima bertapa. Mereka tahu bahwa Bima ingin memiliki Kuku Pancanaka yang sakti. Padahal Kuku Pancanaka tersebut milik salah satu Dewa di Kahyangan.
“Aku tidak mau Kuku Pancanaka ini diturunkan kebumi bagi Bima,” kata Dewa pemilik Kuku Pancanaka itu. Ia tidak ikhlas kalau Kuku Pancanaka harus menjadi milik orang lain, apalagi calon pemiliknya bukan Dewa. Ini akan merendahkan martabat Dewa itu.
Batara Guru, Pemimpin para Dewa di Kahyangan kehabisan akal. Jika Kuku Pancanaka tidak segera diberikan kepada Bima yang sedang bertapa, Bima akan mengamuk. Dengan kekuatannya yang luar biasa ia mampu mengangkat gunung dan mengancurkannya. Bumi pun bisa habis dimusnahkan Bima. Tidak hanya itu, Bima juga bisa mengobrak-abrik seluruh isi Kahyangan.
Batara Guru berusaha membujuk Dewa pemilik Kuku Pancanaka untuk menyerahkan pusakanya kepada Bima, namun kata-kata sang Batara dianggap angin lalu oleh Dewa itu.
Suatu saat, Bima mendapat bisikan gaib bahwa untuk mendapatkan Kuku Pancanaka diperlukan perjuangan yang luar biasa. Padahal setelah melewati hari yang ditentukan, Bima merasa berhak mendapatkan Kuku Pancanaka itu.
“Herr,” geram Bima sambil meremas-remas kedua belah jari tangannya, seolah-olah akan menghancurkan bumi.
“Awas, bumi akan aku obrak-abrik dan penghuninya akan kuinjak-injak!” tantangan Bima geram.
Ancaman Bima didengar langsung oleh Batara Guru dan para Dewa di Kahyangan. Mereka tidak mau bumi dihancurkan Bima.
“Aku akan mengutuskan untuk segera menemui dan menenangkan Bima,” kata Batara Guru kepada Batara Narada segera turun ke bumi menenui Bima. Terjadilah ketegangan dan perdebatan seru. Batara Narada menganggap Bima sebagai anaknya. Ia memberi penjelasan bahwa untuk mendapatkan Kuku Pacanaka itu tidak mudah. Harus diusahakan secara terus menerus. Batara mengatakan bahwa para Dewa sedang berupaya mendapatkan Kuku Pancanaka.
Tetapi Bima sudah tidak sabar lagi, bahkan ia merasa harga dirinya diinjak-injak.
Ia telah menyelesaikan tapanya sebagai syarat untuk mendapatkan Kuku Pancanaka yang diidam-idamkan.
Batara Narada pun segera kembali ke Kahyangan.
“Ampun Batara Guru, Bima sulit ditenangkan dan ia harus segera mendapatkan Kuku Pancanaka ,” kata Batara Narada kepada Batara Guru. Dengan kesaktian luar biasa, Batara Guru menciptakan dua buah Kuku Pancanaka persis sama dengan milik Dewa di Kahyangan. Kuku Pancanaka itu mengeluarkan sinar yang menakjubkan dan tajam luar biasa.
“Bawa ini dan cepat berikan kepada Bima,” kata Batara Guru sambil memberikan dua buah Kuku Pancanaka kepada Batara Naraka. Batara Narada segera turun ke bumi menemui Bima. Cahaya terang menyilaukan mata mengiringi perjalanan Batara Narada.
“Terimalah dan rawatlah Kuku Pancanaka ini sebaik mungkin,” kata Batara Narada kepada Bima. Kedua Kuku Pacanaka itu segera menancap dan menjadi satu di kedua ibu jari tangan Bima. Batara Narada segera kembali ke Kahyangan.
Bersamaan dengan itu, sekonyong-konyong muncul raksasa yang sangat menakutkan menantang Bima. Bima menjawab tantangan raksasa itu. Terjadilah pertempuran sengit. Mereka mengeluarkan berbagai ajian. Raksasa Angkara Murka terdesak dan lari mencebur ke laut.
Ajaib! Raksasa itu segera berubah menjadi ular raksasa yang siap menelan mangsa. Bima tidak tinggal diam. Mereka pun bertempur lagi laut. Akibatnya terjadilah ombak bergulung-gulung tak henti-hentinya. Raksasa Angkara Murka mulai mengendurkan serangannya. Bima langsung menancapkan Kuku pancanaka ke tubuh Raksasa itu. Air laut pun berubah menjadi merah karena tersiram darah si Raksasa.

PESAN MORAL

Bima memiliki sebuah senjata adalan beruapa Kuku Pacanaka. Ia menggunakan senjata tersebut untuk membunuh Angkara Murka yang terwujud raksasa. Ini adalah lambang agar dalam meraih cita-cita sebaiknya kita membasmi sifat-sifat tak terpuji yang selalu melekat di dalam diri kita. Salah satunya adalah sifat angkara murka, seperti yang telah dibasmi oleh Bima.