kembangapi_2

Thursday, January 25, 2007

Malin Kundang - Sumatera Barat

Dahulu kala di Padang, Sumatra Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.
Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nelayan. Ibunya sudah tua. Ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari, Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya untuk mengobati Malin dengan mendatangkan tabib.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.
Ketika sudah dewasa, Malin berpamit kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.
“Bu, ini kesempatan yang paling baik bagi saya.” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali degan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia menengadahkan kedua tangannya ke atas sembari berdoa agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nakhoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan, a mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa sekarang Malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segea kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih Mande Rubayah tiap malam.
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat-tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang Sultan atau sorang Pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebaran keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum lagi tetua desa sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk Malin erat-erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira. “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya ke mana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambil bekat, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malih menendangnya sambil berkata, “Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu sangat disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, pantai Air Manis sudah sepi. Di laut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatan tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, ya Tuhan...!”
Tidak lama kemudian, cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal Malin Kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah, sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuun, Bu....! Ampuuuun, Buuuuu...!” konon itulah suara si Malin Kundang.
Orang yang durhaka kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mencapat pemgampunan dari ibunya.

SUMBER
BUKU : Kumpulan Cerita, Legenda, Dongeng Rakyat
PENULIS : MB. Rahimsyah
PENERBIT : “SINAR ILMU” Jakarta, tahun 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home