kembangapi_2

Thursday, January 25, 2007

Kuku Pacanaka - Cerita rakyat dari Jawa Timur

Alkisah, gunung Mahameru (Semeru) di Propinsi Jawa Timur adalah salah satu tempat bertapa para tokoh pewayangan. Gunung Mahameru tampak besar, kokoh, dan menjulang tinggi bagaikan menembus langit. Selain itu gunung Mahameru seolah menyimpan berbagai misteri yang tak pernah bisa diungkapkan. Konon Bima, putra kedua Pandawa pernah bertapa di gunung Mahameru mencari kesaktian berupa Kuku Pancanaka. Ia putra Pandawa yang kuat, teguh dan tak kenal menyerah. Dengan niat dan keyakinan yang teguh, Bima mencari tempat bertapa di gunung itu dan menemukan sebuah gua raksasa.
Gua raksasa itu didiami berbagai hewan. Selain itu bau yang tak sedap timbul dari dalam gua. Sang Bima sengaja mencari tempat di dalam gua, dan mulai bertapa. Ia bersila dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas kedua lututnya. Pandangan matanya dipusatkan pada satu titik di depannya. Gerak pernapasannya diatur sesuai dengan irama tetesan air di dalam gua. Iapun berkonsentrasi penuh, sehingga apa yang terjadi disekelilingnya tak dihiraukan.
Setelah beberapa bulan bertapa, ternyata belum ada tanda-tanda keinginannya terkabul. Bahkan ia mengalami berbagai godaan dari jin penunggu gua.
“Akulah penghuni gua, ayo hentikan tapamu dan makanlah makanan enak dan lezat ini,” kata jin yang hanya berwujud kepala manusia menyeramkan itu. Datang pula bergantian beberapa wanita cantik menggoda. Berbagai tarian lucu pun diperagakan oleh hewan-hewan. Namun Bima tetap tak bergeming.
Sementara itu, para dewa di Kahyangan bersidang membicarakan tujuan dan maksud Bima bertapa. Mereka tahu bahwa Bima ingin memiliki Kuku Pancanaka yang sakti. Padahal Kuku Pancanaka tersebut milik salah satu Dewa di Kahyangan.
“Aku tidak mau Kuku Pancanaka ini diturunkan kebumi bagi Bima,” kata Dewa pemilik Kuku Pancanaka itu. Ia tidak ikhlas kalau Kuku Pancanaka harus menjadi milik orang lain, apalagi calon pemiliknya bukan Dewa. Ini akan merendahkan martabat Dewa itu.
Batara Guru, Pemimpin para Dewa di Kahyangan kehabisan akal. Jika Kuku Pancanaka tidak segera diberikan kepada Bima yang sedang bertapa, Bima akan mengamuk. Dengan kekuatannya yang luar biasa ia mampu mengangkat gunung dan mengancurkannya. Bumi pun bisa habis dimusnahkan Bima. Tidak hanya itu, Bima juga bisa mengobrak-abrik seluruh isi Kahyangan.
Batara Guru berusaha membujuk Dewa pemilik Kuku Pancanaka untuk menyerahkan pusakanya kepada Bima, namun kata-kata sang Batara dianggap angin lalu oleh Dewa itu.
Suatu saat, Bima mendapat bisikan gaib bahwa untuk mendapatkan Kuku Pancanaka diperlukan perjuangan yang luar biasa. Padahal setelah melewati hari yang ditentukan, Bima merasa berhak mendapatkan Kuku Pancanaka itu.
“Herr,” geram Bima sambil meremas-remas kedua belah jari tangannya, seolah-olah akan menghancurkan bumi.
“Awas, bumi akan aku obrak-abrik dan penghuninya akan kuinjak-injak!” tantangan Bima geram.
Ancaman Bima didengar langsung oleh Batara Guru dan para Dewa di Kahyangan. Mereka tidak mau bumi dihancurkan Bima.
“Aku akan mengutuskan untuk segera menemui dan menenangkan Bima,” kata Batara Guru kepada Batara Narada segera turun ke bumi menenui Bima. Terjadilah ketegangan dan perdebatan seru. Batara Narada menganggap Bima sebagai anaknya. Ia memberi penjelasan bahwa untuk mendapatkan Kuku Pacanaka itu tidak mudah. Harus diusahakan secara terus menerus. Batara mengatakan bahwa para Dewa sedang berupaya mendapatkan Kuku Pancanaka.
Tetapi Bima sudah tidak sabar lagi, bahkan ia merasa harga dirinya diinjak-injak.
Ia telah menyelesaikan tapanya sebagai syarat untuk mendapatkan Kuku Pancanaka yang diidam-idamkan.
Batara Narada pun segera kembali ke Kahyangan.
“Ampun Batara Guru, Bima sulit ditenangkan dan ia harus segera mendapatkan Kuku Pancanaka ,” kata Batara Narada kepada Batara Guru. Dengan kesaktian luar biasa, Batara Guru menciptakan dua buah Kuku Pancanaka persis sama dengan milik Dewa di Kahyangan. Kuku Pancanaka itu mengeluarkan sinar yang menakjubkan dan tajam luar biasa.
“Bawa ini dan cepat berikan kepada Bima,” kata Batara Guru sambil memberikan dua buah Kuku Pancanaka kepada Batara Naraka. Batara Narada segera turun ke bumi menemui Bima. Cahaya terang menyilaukan mata mengiringi perjalanan Batara Narada.
“Terimalah dan rawatlah Kuku Pancanaka ini sebaik mungkin,” kata Batara Narada kepada Bima. Kedua Kuku Pacanaka itu segera menancap dan menjadi satu di kedua ibu jari tangan Bima. Batara Narada segera kembali ke Kahyangan.
Bersamaan dengan itu, sekonyong-konyong muncul raksasa yang sangat menakutkan menantang Bima. Bima menjawab tantangan raksasa itu. Terjadilah pertempuran sengit. Mereka mengeluarkan berbagai ajian. Raksasa Angkara Murka terdesak dan lari mencebur ke laut.
Ajaib! Raksasa itu segera berubah menjadi ular raksasa yang siap menelan mangsa. Bima tidak tinggal diam. Mereka pun bertempur lagi laut. Akibatnya terjadilah ombak bergulung-gulung tak henti-hentinya. Raksasa Angkara Murka mulai mengendurkan serangannya. Bima langsung menancapkan Kuku pancanaka ke tubuh Raksasa itu. Air laut pun berubah menjadi merah karena tersiram darah si Raksasa.

PESAN MORAL

Bima memiliki sebuah senjata adalan beruapa Kuku Pacanaka. Ia menggunakan senjata tersebut untuk membunuh Angkara Murka yang terwujud raksasa. Ini adalah lambang agar dalam meraih cita-cita sebaiknya kita membasmi sifat-sifat tak terpuji yang selalu melekat di dalam diri kita. Salah satunya adalah sifat angkara murka, seperti yang telah dibasmi oleh Bima.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home