kembangapi_2

Monday, February 05, 2007

Reog Ponorogo-cerita rakyat Jawa Timur

Alkisah, dahulu kala di Kerajaan Kediri ada seorang puteri raja yang sangat cantik bernama Dewi Sanggalanggit. Puluhan raja maupun putra mahkota datang melamar. Pada Suatu hari datang dua orang pelamar.
“Nama hamba Patih Bujang Ganong, utusan raja Kelana Suwandana dari Kerajaan Wangker. Hamba datang untuk menyampaikan lamaran Sri Baginda kepada tuan Puteri,” kata seorang pelamar sambil menyembah Dewi Sanggalangit.
“Patih Inderkala namaku! Aku utusan raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya!” kata seorang pelamar, yang bertampang angker.
”Tuan Puteri harus menerima lamaran rajaku!” katanya bernada memaksa.
Untuk menerima dan memberi jawaban lamaran raja kalian, aku minta waktu selama tujuh hari,” jawab Dewi Sanggalangit singkat.
“Anakku, kau harus segera menentukan pilihan lamaran dari kedua raja itu. Sebab kalau tidak segera memberi keputusan, kedua raja sakti pasti akan menghancurkan negeri kita,” kata ayah Dewi Sanggalangit khawatir.
“Ananda ingin mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi mereka,” ujar Dewi Sanggalangit.
“Katakan syarat itu,” desak ayahnya.
Dewi Sanggalangit menjelaskan syarat-syarat bagi para pelamar. “Pertama, ia harus bisa menyediakan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar yang dinaiki pemuda-pemuda rupawan. Kedua, ia harus membawa seekor binatang berkepala dua. Ketiga, ia harus bisa menyajikan tontonan yang menarik. “
Ayah Dewi Sanggalangit segera menyampaikan syarat tersebut kepada Patih Bujang Ganong dan Patih Inderkala. Kedua Patih itu pun segera pulang ke kerajaan masing-masing. Patih Bujang Ganong segera menghadap Raja Kelana Suwandana dan menyampaikan syarat yang dikehendaki Dewi Sanggalangit.
“Baiklah akan kusanggupi syarat yang diminta Dewi Sanggalangit,” kata raja Kelana Suwandana mantap. Berkat kesaktiannya, 144 ekor kuda kembar telah siap dipersembahkan kepada Sang Dewi.
Namun, di tengah-tengah persiapan itu Raja Kelana Suwandana dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang tidak dikenal.
Kedua orang yang tidak dikenal itu segera ditangkap. Mereka bernama Ardawalika dan Lodra, utusan Raja Singabarong yang bermaksud memata-matai Raja Kelana Suwandana.
“Apa maksud kalian memata-mataiku!” bentak Raja Kelana Suwandana.
“Terus terang hamba ingin tahu syarat-syarat yang telah dipersiapkan Sri Baginda Kelana Suwandana dalam melamar Dewi Sanggalangit,” jawab Ardawakila dan didukung Lodra.
“Setelah itu hamba diperintahkan Sri Baginda Singabarong untuk menghancurkannya,” jelas kedua utusan itu.
“Hem, kalau begitu serang Kerajaan Lodaya!” perintah Raja Kelana Suwandana kepada Patih Bujang Ganong.
Patih Bujang Ganong segera membentuk pasukan khusus untuk menyerang Kerajaan Lodaya. Setelah semuanya siap, mereka segera berangkat. Ketika pasukan Patih Bujang Ganong berada di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh pasukan Kerajaan Lodaya dibawah pimpinan Patih Iderkala. Terjadilah pertarungan seru. Kedua patih yang saling kenal itu saling mengadu kekuatan dan kesaktian. Dalam pertarungan itu, Patih Iderkala terlambat mengelak. Dalam sekejap keris bertuah Patih Bujang Ganong telah menghujam dada Patih Iderkala. Patih Iderkala tewas seketika.
Sementara itu, di Istana Kerajaan Lodaya, Raja Singabarong tidak sabar menunggu berita kedatangan Patih Iderkala.
“Aku harus segera menyusul ke Kerajaan Wengker!” kata Raja Singabarong. “Aku harus segera menghancurkannya!” tekadnya.
Raja Singabarong yang bersifat kurang sabar itu, segera memacu kudanya dengan diiringi para prajurit pilihannya menuju Kerajaan Wengker. Di tengah perjalanan, raja Singabarong dikejutkan oleh mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Ha ? Inikah mayat Patihku ? Siapakah pembunuhnya ?” kata raja Singabarong bertanya-tanya.
“Akulah pembunuhnya!” Patih Bujang Ganong datang tiba-tiba.
“Keparat! Kuhancurkan kau!” tantang Raja Singabarong.
Dalam sekejap terjadi pertarungan seru. Karena kalah sakti, Patih Bujang Ganong segera bertekuk lutut.
Saat Raja Singabarong mengarahkan ujung tombaknya ke dada Patih Bujang Ganong, bersamaan itu pula datang sekelebat seorang lelaki.
“Tunggu! Akulah tandinganmu!’ teriaknya keras. Lelaki itu tidak lain adalah Raja Kelana Suwandana.
Raja Singabarong mengurungkan niat membunuh Patih Bujang Ganong. Ia mengalihkan perhatiannya dan menjawab tantangan Raja Kelana Suwandana. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran sengit.
Berbagai ilmu olah kanuragan dan senjata sakti dikerahkan. Pohon-pohon bertumbangan terkena sasaran senjata sakti dari kedua Raja itu. Lereng gunung maupun bukit tanahnya longsor terimbas oleh berbagai ilmu olah kanuragan.
Setelah berbagai senjata maupun kesaktian diadu, pertarungan kedua Raja itu makin mengendor. Terutama tampak pada kegesitan gerak Raja Singabarong yang semakin lamban. Ia sekali-sekali berhenti dan mengaruk-garuk kepalanya. Kenapa demikian ? Hal itu dikarenakan kepalanya dipenuhi kutu-kutu ganas. Bila di Istana, raja Singabarong mempunyai seekor burung merak yang selalu setia mematuki kutu-kutu di rambutnya, sehingga kepalanya terasa dipijit-pijit.
Namun, sekarang ini dalam keadaan perang. Burung merak tidak mungkin mencari kutu-kutu di rambutnya. Nah, karena gangguan kutu, Raja Singabarong tidak dapat memusatkan perhatian dalam pertarungan itu.
“Kalau begini, lebih baik aku segera melarikan diri dari kancah pertempuran,” gumam Raja Singabarong, sambil mengambil langkah seribu.
Raja Kelana Suwandana tidak mau kehilangan kesempatan menghabisi Raja Singabarong. “Inikah binatang berkepala dua yang diinginkan Dewi Sanggalangit?” gumam Raja Kelana Suwandana, ketika melihat seekor burung merak mematuki kutu di rambut Raja Singabarong yang berkepala harimau itu.
“Jadilah kau binatang berkepala dua!” kutuk Raja Kelana Suwandana setelah mengheningkan cipta. Dalam beberapa saat seekor burung merak itu menyatu di bahu raja Singabarong. Raja Singabarong marah besar dan langsung menyerang membabi buta. Dengan gesit, Raja Kelana Suwandana mengindar. Lantas ia mengeluarkan cemeti sakti dan dicambukkannya di tubuh Raja Singabarong.
Raja Singabarong menghindar dengan cara berguling-guling di tanah. Aneh bin ajaib Raja Singabarong berubah menjadi binatang berkepala dua.
Melihat kejadian itu, Raja Kelana Suwandana merasa telah memiliki syarat yang diminta Dewi Sanggalangit. Maka, ia segera mengajukan lamaran. Perjalanan iring-iringan Raja Kelana Suwandana ke Kerajaan Kediri sungguh menarik. Rombongan pertama, berupa 144 ekor kuda kembar yang ditunggangi para pemuda tampan. Rombongan kedua seekor binatang berkepala dua, yang tak lain adalah jelmaan raja Singabarong, dan di belakangnya diikuti rombongan penari dan pembawa alat tetabuhan.
“Lamaran Sri Baginda, hamba terima,” jawab Dewi Sanggalangit mengumbar senyum. Perkawinan kedua orang itu segera dilaksanakan.
Di alun-alun Kerajaan Kediri diselenggarakan pertunjukan tari-tarian dengan diiringi berbagai tetabuhan. Pertunjukkan itu kemudian dinamai ”Reog”. Nah Karena Reog itu berasal dari Ponorogo, maka disebut Reog Ponorogo.

Pesan Moral
Keangkuhan, kesombongan, tinggi hati dapat menjadi bumerang pada diri kita. Marilah kita jauhkan sifat yang tidak baik itu, sehingga kita dapat dihargai oleh lain dan terhindar dari tulah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home