kembangapi_2

Tuesday, February 06, 2007

Nyai Dasima - Cerita rakyat Jakarta

Di suatu rumah terlihat Tuan Edward sedang sibuk membaca buku tebal. Sekali-sekali dia membuat catatan. Lalu, meneruskan membaca lagi. Sementara itu Dasima, seorang gadis remaja berumur 13 tahun, datang ke rumah Nyonya Bennet untuk meneruskan pelajaran menjahitnya. Pada kesempatan lain dia juga belajar memasak. Dasima memang tidak mengecewakan. Dia mudah mengerti pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya.
Akhirnya Nyonya Bennet berkata, "Kamu sudah mendapatkan semuanya, Dasima. Kukira cukup untuk bekal hidupmu kelak. Kamu amat disayang oleh majikanmu, bukan?"
Dasima tersipu.
"Tuan Edward orang baik, Dasima. Selama kamu bisa membawa diri dan bisa mengambil hatinya, kukira kamu akan sukses."
Dasima mengucapkan terima kasih. Sejak itu dia hidup bersama majikannya. Dia tidak pulang ke kampungnya. Dia tinggal di situ untuk selamanya. Dari hubungan itu, Dasima mendapatkan seorang anak perempuan bernama Nancy. Anak itu cantik dan manis, tidak berbeda dengan anak-anak Eropa lainnya. Tiap hari Nancy bercakap dalam bahasa Inggris, tetapi Dasima mengerti. Nancy lebih fasih mengucapkan, sedangkan Dasima susah serta beraksen melayu dan sering dicampur kata-kata Sunda. Tuan Edward terpingkal-pingkal kalau Nancy meniru gaya ibunya berbicara. Namun demikian, mereka berkomunikasi dengan mesra dan harmonis. Tuan Edward makin sayang kepada Dasima. Uang belanja yang diberikan kepadanya amat berlebihan. Sisanya masih sangat banyak untuk ditabung Dasima.
Setelah hidup bersama selama delapan tahun, keluarga Tuan Edward pindah ke Batavia. Rumah dan pekarangan yang luas di Curug dijual. Mereka membeli rumah baru di Gambir. Di situ didirikan rumah baru yang mewah dan mentereng. Dasima sebagai nyai besar menunggu rumah bersama Nancy selama siang hari, sedangkan "suaminya", Tuan Edward, bekerja di daerah Kota.
Orang-orang Betawi asli yang tinggal di sekitar Gambir mulai ramai membicarakan kekayaan Tuan Edward. Tentunya sangat beruntung Dasima jadi kesayangannya. Para wanita iri kepada Dasima. Mereka semua ingin menjadi nyai Tuan Edward, sedangkan para lelaki mengirikan Tuan Edward. Mereka semua ingin jadi suami Dasima. Dasima terlalu cantik untuk orang Inggris bungkuk itu.
Samiun, seorang laki-laki kasar dari kampung Pejambon, segera merencanakan usahanya untuk mendekati Dasima. Untuk maksud itu, dia menyuruh Mak Buyung sebagai pembuka jalan. Orang tua setengah baya itu disuruh menjajakan telur di rumah Tuan Edward. Dasima membeli beberapa butir. Sejak itu Mak Buyung menjadi langganan Dasima. Lama-kelamaan dia sudah sangat biasa keluar masuk rumah Tuan Edward. Dia pandai memikat Bicaranya ramah. Mak Buyung sudah menjadi orang kepercayaan Dasima. Berbincang-bincang intim sering mereka lakukan. Mak Buyung bebas sekali berbicara. Soal agama sering disebut-sebut. Mak Buyung secara terang-terangan mengecam hubungan Tuan Edward dengan Dasima.
"Hubungan Neng dengan tuan baik sekali," kata Mak Buyung pada suatu siang, "hanya sayang, Tuan Edward bukan lelaki idaman. Selama kenal dengan saya, Neng benar-benar tampak menyembunyikan kesedihan. Apakah Neng menyesal telah berhubungan gelap dengan lelaki Eropa? Jangan khawatir, Neng. Saya berusaha untuk membikin tenteram hati Neng. Bacalah doa lima kali dalam sehari dan lepaskan diri Neng dari lelaki Eropa itu!" Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut supaya tidak menyinggung perasaan Dasima.
Pada suatu hari, Samiun pergi ke rumah Pak Salihun di Pecenongan untuk meminta mantra.
"Assalamualaikum," Samiun memberi salam.
"Alaikum salam," jawab Pak Salihun, "ada apa, Un?"
Samiun menerangkan maksudnya dengan setengah berbisik. Maklum, yang diceritakan soal perempuan. Bukan soal istrinya, Hayati, atau mertuanya, Ibu Saleha, tetapi Dasima, yang sudah makin dikenal sebagai nyai Tuan Edward di Gambir.
"Saya mengerti, Un," jawab Pak Salihun sambil tertawa panjang.
"Tidak tercela lelaki yang bermaksud meluruskan perempuan yang kurang benar. Itu mudah, Un."
Setelah segala syarat dipenuhi Samiun, Pak Salihun membaca jompa-jampi. Mulutnya komat-kamit. Doa-doa pun mengiringinya. Asap dupa mengepul sepanjang malam di kamarnya yang tertutup.
Pada suatu siang Dasima terheran-heran. Dia melihat Mak Buyung membawa setandan pisang dan buah-buahan lainnya yang diturunkan dari punggung seorang pembantunya.
"Apa-apaan ini, Mak Buyung?" kata Dasima.
"Sekadar oleh-oleh. Ini tanda persahabatan dari Hayati, keponakanku. Dia kirim salam untuk Neng."
Segan juga Dasima menerimanya. Terpaksa dia mengucapkan terima kasih.
"Hayati adalah istri Samiun. Ibu Saleha, ibu mertua Samiun, adalah guru mengaji. Mengajilah padanya. Nanti Neng akan makin banyak kawan serta dapat pahala."
Pembantu yang bekerja di rumah Dasima mendapat ajakan pula dari Mak Buyung. Ini dilakukan Mak Buyung agar maksud sesungguhnya tidak diketahui Dasima.
Empat hari kemudian Samiun mendapat dua bungkus ramuan dari Pak Salihun.
"Campurkan ramuan ini ke dalam minuman Dasima, Mak Buyung. Sedikit-sedikit saja," pesan Samiun kepada orang tua itu.
"Akan beres semuanya, Un."
Ke dalam genggaman Mak Buyung sekali lagi Samiun menyelipkan lembaran uang yang membuat Mak Buyung amat senang.
Satu bungkus ramuan itu dimaksudkan untuk Dasima. Satu bungkus lainnya untuk Tuan Edward. Dengan ramuan yang diminum nanti, Dasima bisa goncang hatinya dan membenci Tuan Edward. Dengan ramuan itu pula, Tuan Edward akan selalu tunduk dan menuruti setiap kemauan Dasima.
Hasilnya?
Sampai sebulan belum tampak gejalanya, masih seperti biasa. Mak Buyung gelisah. Dasima belum ada hasrat belajar mengaji di rumah lbu Saleha. Tampaknya Dasima makin sayang kepada tuannya.
Mak Buyung bingung.
Rupanya Dasima orang luar biasa, pikirnya. Mantra-mantra Pak Salihun tidak mempengaruhi jiwa Dasima. Ibu Saleha dan Hayati di Pejambon mendapat laporan dari Mak Buyung. Mereka berunding mencari jalan lain agar Dasima bisa cepat ditundukkan. Pada mulanya agar Samiun mengecap kesenangan, kemudian Hayati dan ibunya akan mendapat bagian juga.
Keesokan harinya, Mak Buyung datang lagi ke rumah Dasima. Dia menceritakan bahwa Hayati dan ibunya ingin berkunjung memperkenalkan diri. Apakah Dasima, tidak keberatan menerima kedatangan mereka?
"Dengan senang hati, Mak Buyung," jawab Dasima.
Pada hari yang ditentukan, Ibu Saleha dan Hayati datang. Mereka tidak lupa membawa oleh-oleh dari Pejambon. Sangat ramah wajah mereka. Tersenyum dan tertawa-tawa gembira. Seperti orang yang sudah kenal bertahun-tahun. Dasima senang sekali. Dia bercerita yang ringan-ringan saja.
"Sudah berapa tahun bersama Tuan Edward?" tanya Hayati tiba-tiba kepada Dasima.
Dasima menceritakan seluruh jalan hidupnya, sejak perawan dan hidup bersama Tuan Edward. Sudah delapan tahun lebih dan mendapatkan seorang anak perempuan yang cantik.
"Neng sangat cantik," timpal lbu Saleha, "sehingga Nancy menurun seperti ibunya. Hanya sayang ...."
"Sayang apanya?" tanya Dasima.
"Seharusnya Neng tidak hidup bersama Tuan Edward."
"Habis dengan siapa?"
"Dengan bangsa sendiri," jawab lbu Saleha tegas.
"Tetapi, tuan saya baik," Dasima membela diri, "dia terlalu sayang kepada saya dan Nancy. Uang belanja yang diberikan kepada saya berlimpah. Masih sangat banyak bersisa, biarpun sudah digunakan untuk belanja sebulan. Belum lagi pakaian-pakaian bagus serta perhiasan yang dibelikan pada saat-saat tertentu. Saya amat bersyukur."
Setelah tamu-tamu itu pulang, Dasima termenung sebentar. Ada beberapa perkataan mereka yang tinggal di dalam hatinya. Mereka berkata bahwa hal yang harus dicapai manusia selama hidup adalah kesenangan, kekayaan, dan kehormatan. Kesenangan dan kekayaan sudah dicapai berkat tuannya, tetapi kehormatan? Mereka sering mencela. Berarti masih belum terhormat kedudukannya. Dasima termenung lagi. Tuan Edward orang baik. Tidak tercela. Tidak melukai hatinya. Itu sudah cukup terhormat. Perlukah orang lain menghormatinya? Belum puaskah dia memiliki Nancy?
Pada hari berikutnya Mak Buyung melihat Dasima termenung di kebun belakang. Dia lalu bertanya, "Sedang memikirkan apa, Neng?"
"Tidak memikirkan apa-apa."
"Sakit?"
"Saya.tidak sakit."
"Kelihatannya memikirkan sesuatu. Apa itu? Barangkali Mak Buyung bisa Bantu”.
Dasima menceritakan kesulitannya.
“Kalau saya mengaji di rumah Ibu Saleha, jangan-jangan nanti Tuan Edward marah kepada saya.”
"Kenapa Neng harus takut kepadanya? Jika dia benar-benar sayang kepada Neng, tentunya dia tidak akan melarang. Coba kalau dia dapat perempuan sebangsanya, sama-sama Wit putih, dia pasti akan membuang Neng. Dia pulang ke negerinya. Anak Neng diambil dan Neng dipulangkan ke desa asal. Neng merana sendirian di dunia. Neng ingin tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap kehidupan seperti ini?" kata Mak Buyung, "Mereka menyebut kehidupan berzina, tidak menikah sah sebagaimana ditetapkan Nabi Muhammad. Sekarang tinggal pilih, hidup dikutuk masyarakat atau hidup dalam kedamaian dengan menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya sesuai Hadits dan Qur'an?"
Dasima tidak bisa membantah. Dia mengikuti desakan-desakan Mak Buyung. Tanpa sepengetahuan tuannya dia sudah jadi "murid" Ibu Saleha.
Satu minggu kemudian Ibu Saleha berkata, "Saya akan membayar kaul yang pernah saya ucapkan sebab Samiun sudah sembuh. Kaulnya akan dibayar dengan pertunjukan topeng. Nanti Neng datang, ya."
Senang juga Dasima datang di pesta besar pada hari yang telah ditentukan itu. Tetangga datang berjubel. Samiun dan Hayati menyambut kedatangan Dasima dengan wajah ceria. Dia dipersilakan masuk dengan penuh hormat. Bunyi gamelan galaganjur menggema. Hayati membimbing Dasima ke kursi yang sudah disediakan, lain dari yang lain, sehingga ia setiap orang yang hadir pasti tahu bahwa dia tamu yang harus dipandang istimewa.
"Itu Nyai Dasima," bisik para perempuan.
Mata mereka menatap dan melirik.
"Dia cantik sekali," bisik yang lain kepada teman perempuan di sebelahnya.
"Memang dia cantik, kalau tidak bagaimana tuannya mau."
"Ya, memang nasib dialah yang mujur. Cantik itu menyebabkan dia kaya."
"Dan terkenal."
"Lihat itu tuan rumah, Samiun, seperti menghadapi seorang ratu. Segala keperluan diletakkan di dekat Nyai Dasima. Lihat, dia membawa tempat sirih dan ditawarkan kepada Nyai Dasima. Samiun keterlaluan menghormatinya. Apa maksud dia sebenarnya?"
Teman yang dibisiki balas berbisik, "Paling tidak cari muka. Zaman sekarang banyak orang cari muka. Siapa tahu Tuan Edward memberikan perhatian kepada Samiun."
"Samiun_pintar juga, ya. Bukan main."
Pertunjukan topeng itu diselenggarakan siang hari, tetapi sangat menarik perhatian pengunjung. Jam dua siang Dasima diantar pulang ke rumahnya di Gambir oleh Samiun dan Hayati.
Dua minggu berselang, Mak Buyung sudah bercakap-cakap lagi dengan Dasima.
"Neng tahu bagaimana kesan Samiun setelah dipestakan?"
"Bagaimana dia, Mak Buyung, ceritakanlah!"
"Dia selalu terkenang kepada Neng. Dia tidak enak makan dan minum. Dia ingin Neng jadi istrinya. Asalkan Neng mau, Hayati akan segera diceraikannya. Neng akan diajak naik haji ke Mekkah. Jika Neng setuju, kirimkanlah tanda cinta kepadanya!"
Dasima kaget sekali. Dia geleng-geleng kepala terhadap keberanian Samiun. Dia juga ikut termenung, tidak bisa makan dan tidur seperti biasanya. Terbayang wajah Samiun. Lelaki itu menarik juga daripada Tuan Edward yang bungkuk dan pendengarannya mulai berkurang. Lama-kelamaan Dasima benci kepada Tuan Edward karena dia sering mengulang bicara. Meskipun sudah keras bicara, Tuan Edward masih salah dengar juga. Itulah sebabnya tiga hari kemudian Dasima mengirimkan sapu tangan sutra sebagai tanda cinta kepada Samiun melalui Mak Buyung.
Keesokan harinya, setelah Tuan Edward pergi ke tempat kerjanya di Kota, Samiun datang ke rumah Dasima. Samiun berkata lembut, merayu, sambil menggenggam tangan Dasima..
"Lepaslah kau dari tangan tuanmu, Dasima," kata Samiun pada suatu siang, "dengan aku orang sebangsamu ini kau tidak akan telantar. Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan telantarkan hidupmu. Lain dengan dia orang Eropa. Sewaktu-waktu dia bisa pulang ke negeri asalnya."
Rayuan serta tindakan Samiun mulai menunjukkan hasil. Suatu sore Dasima mendekati Tuan Edward. Dia mulai mengemukakan maksudnya. Tuan Edward amat kaget. Seperti main-main saja omongan Dasima sampai di telinganya.
"Aku memang ingin pergi, Edward. Sudah lama maksudku ini. Barang-barang milikku termasuk uang simpanan, akan kubawa semua."
“Tetapi, aku belum ingin berpisah denganmu, dasima,” jawab Tuan Edward tidak kunjung mengerti, “kita tidak punya persoalan. Kau tidak bersalah, aku pun tidak. Mengapa harus berpisah? Mengapa bercerai?"
"Perjodohan kita sudah selesai," jawab Dasima, "pokoknya aku berhenti menjadi piaraanmu, Edward. Diberi izin atau tidak, aku akan pergi dari rumah ini."
Tuan Edward menangis. Dasima tidak peduli. Dia membawa seluruh harta perhiasannya yang menurut notaris bernilai enam ribu gulden zaman itu. Masih ditambah segala perabot rumah tangga yang mahal harganya. Bersama Mak Buyung, dua pedati membawa barang-barang itu ke suatu tempat di Pejambon.
Samiun, Hayati, serta lbu Saleha menerima kedatangan Dasima dengan mata hijau karena mereka berniat memiliki harta itu secara tuntas. Malam itu juga tetangga-tetangga dikumpulkan. Samiun secara sah diresmikan sebagai suami Dasima. Karena sudah menjadi suami, hak suamilah menyimpan seluruh kekayaan Dasima.
Pakaian-pakaian Dasima yang bergaya Eropa harus diganti kain atau sarung seperti dikenakan orang-orang kampung Pejambon. Cukup bahan dari cita biasa, kain hitam bekas milik Hayati. Giwang, gelang, serta cincin bertabur intan diganti pirus sederhana, kaca, atau belah rotan dari perak. Dasima juga harus bekerja keras di dapur.
Sebulan kemudian, pembantu di rumah Samiun tidak melayani Dasima lagi. Hayati dan lbu Saleha mulai tampak belangnya. Wajah mereka cemberut dan perkataan mereka kasar membentak-bentak. Menjadi kenyataan sudah nasib Dasima jauh di bawah kaki Hayati. Samiun pun berjudi. Barang-barang Dasima dihabiskan untuk bersenang-senang.
Dasima makin sedih ketika melihat sikap lbu Saleha dan Hayati sesudah harta miliknya habis. Mereka bukan saja marah dan benci, tetapi membentak, memaki, serta menghina dia serendah-rendahnya.
Dasima mulai menyesal, ingat Nancy yang ditinggalkan. Dia merasa berdosa besar kepada Tuan Edward, orang yang baik, pemurah, dan penyabar. Malu. Mau mati saja rasanya. Samiun penipu, penjudi besar, serta perampok berkedok alim. Dia masih cinta kepada Hayati. Dengan terus terang dia menggandeng penuh mesra Hayati di depannya sambil mengejek dan menyuruh Dasima bekerja di dapur. Kalau semua sudah makan, barulah giliran Dasima makan sambil menangis serta terus-menerus menyesali diri.
Samiun mengira Dasima masih mempunyai harta yang disembunyikan. Dia ingin menguasai seluruhnya, timbul hasratnya untuk melenyapkan nyawa Dasima. Dia lalu menjumpai Bang Puasa, seorang pembunuh sewaan yang tersohor pada zaman itu.
"Aku bersedia menyediakan upah yang besar, Bang," janji Samiun, "pokoknya kerja abang beres, jangan khawatir!"
"Ya," kata Bang Puasa, "tetapi selama ini aku belurn pernah membunuh perempuan. Tidak tega tanganku melakukannya."
"Apa bedanya perempuan dengan lelaki, Bang? Sama saja, bukan?"
"Tidak sama, Un. Perempuan adalah kaum yang harus dilindungi lelaki."
"Tetapi, aku sudah tidak bisa memeliharanya lagi. Jadi, selesaikan dial"
Bang Puasa bingung.
Setelah dijelaskan lagi persoalannya oleh Samiun yang nekad itu barulah algojo bayaran itu mengerti dan menyanggupi untuk melakukan tugas.
Pada hari yang ditentukan, Samiun mendekati Dasima.
"Ada undangan untuk kita berdua dari kampung Ketapang, Dasima," kata Samiun, "di sana kita menghadiri orang membaca Hikayat Amir Hamzah. Biarlah Hayati tinggal di rumah. Berdandanlah!"
Dasima gembira. Lalu, dia bersiap-siap pergi. Mereka melewati kampung Kwitang menghampiri kenalan Samiun, yaitu Bang Puasa. Lalu, mereka berjalan melalui jalan kecil menerobos kebun Mak Musanip.
Si Kuntum, pembantu Samiun, berjalan paling depan membawa obor. Malam gelap. Persis beberapa langkah setelah melewati kebun Mak Musanip, Bang Puasa segera memukulkan besi ke kepala Dasima. Akan tetapi, meleset hanya kena pundak Dasima. Dasima menjerit minta tolong. Bang Puasa mengulangi memukulkan besi itu. Kali ini kepala Dasima kena. Dasima sempoyongan. Lalu, dia terkapar tidak bernapas lagi. Kuntum lemas karena ketakutan. Samiun dan Bang Puasa cepat menyeret mayat Dasima untuk diceburkan ke kali.
Si Kuntum diancam majikannya, "Kalau sampai mulutmu menyiarkan rahasia ini, nanti kamu saya bikin seperti Dasima juga!"
Kuntum gemetar.
Tidak disangka bahwa tepat pada saat kejadian itu Mak Musanip dan Gani tidak pergi. Mak Musanip sedang buang hajat dan Gani asyik memancing ikan. Mereka langsung bersembunyi ketika terjadi pembunuhan itu. Mereka tahu semua.
Sementara itu, lbu Saleha dan Hayati sudah menjauh ke Kampung Melayu, Mereka dan Mak Buyung marah, tidak suka kepada Samiun. Pada saat terakhir hidupnya, Dasima pernah mengancam akan lapor ke pengadilan. Namun, perbuatan Dasima itu tidak harus dihukum dengan kekerasan. Itulah yang menghantui pikiran lbu Saleha dan Hayati. Ketika hari yang ditentukan oleh Samiun sudah lewat, mereka semakin resah, takut, dan curiga kepada setiap orang yang datang. Barangkali saja ada yang mau menangkap mereka.
Samiun sudah berkumpul kembali dengan Hayati.
"Sudah beres semua, Hayati," kata suaminya, "kalau ada yang tanya ke mana Dasima, bilang saja dia pulang ke Kuripan."
Wajah Samiun pucat. Bicaranya gemetar. Tindakan-tindakannya tidak tenang.
Pada zaman itu, banyak orang Eropa memanfaatkan sungai untuk mandi. Tepian sungai dibuat sedemikian rupa sehingga berundak-undak dan diberi tutup yang nyaman hingga tidak kelihatan dari luar. Ternyata, mayat Dasima tersangkut di tempat pemandian Tuan Edward. Tuan Edward masih mengenali mayat bekas kekasihnya itu. Salah seorang pembantunya menceritakan bahwa selama ini Mak Buyung sering tampak bersama Dasima. Dia yang membujuk agar Dasima mau menikah dengan Samiun. Tempat tinggal mereka di Kampung Pejambon.
Tuan Edward segera melapor kepada kepala kampung setempat. Polisi memeriksa mayat Dasima. Wali kota mengumumkan kepada seluruh masyarakat agar secepatnya memberikan bantuan keterangan. Mereka yang berhasil menyingkap peristiwa itu akan mendapat imbalan sangat memuaskan. Uang 200 pasmat pada waktu itu bukan main besarnya. Pendapatan petani biasa pada waktu itu tidak lebih dari 5 pasmat tiap hari.
Ibu Musanip dan Gani datang melapor. Mereka bercerita dengan tegas tanpa ragu-ragu bahwa pelaku utamanya adalah Bang Puasa dan orang yang terlibat langsung adalah Samiun, dibantu si Kuntum.
Polisi menyebar dan menggeledah rumah Samiun di Pejambon. Kuntum yang lebih dulu mengakui perbuatannya. Penduduk jadi ramai.
Ketika polisi datang, Bang Puasa sedang membersihkan besinya yang masih berlepotan darah kering. Kemudian, mereka langsung dimasukkan ke penjara balai kota.
Ketika polisi menangkap Kuntum, Samiun masih sempat melarikan diri ke dalam hutan. Satu regu pasukan polisi dikirim untuk menaklukkannya. Samiun menyerah dan dijebloskan ke penjara bersama Kuntum dan Bang Puasa.

Kesimpulan .
Nyai Dasima adalah cerita klasik Betawi yang menggambarkan kehidupan nyai-nyai Belanda atau Inggris masa lalu, antara lain yang berakhir tragis seperti ini. Intinya berpulang kepada sikap masyarakat waktu itu, di samping pribadi masing-masing yang iri, dengki atau memang berhati jahat tidak senang melihat kebahagiaan orang lain. Akhirnya, orang yang berbuat jahat ditangkap dan mendapat ganjaran yang setimpal.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home