kembangapi_2

Thursday, February 22, 2007

Persyaratan Penulis Kembang Api 2

“M e n u l i s K e m b a n g A p i 2”

Proyek Menulis Kembang Api 2 adalah proyek lanjutan buku kumpulan cerita pendek yang digagas oleh Gerakan Peduli Sekitar Kita (GPSK). Kali ini cerita pendek yang akan dikumpulkan adalah cerita pendek yang diinspirasikan dari cerita rakyat. Dari cerita rakyat yang ada di seluruh pelosok tanah air Indonesia ini, banyak hal yang bisa kita gali, pelajari, dan kita interpretasi sesuai dengan zaman terkini.

Adapun syaratnya adalah sebagai berikut:
1.Penulis adalah anak muda BDI dan/atau volunteer GPSK.
2.Naskah asli, bukan saduran dan belum pernah diterbitkan sebelumnya.
3.Cerita pendek yang ditulis berdasarkan inspirasi penulis atas 25 cerita rakyat yang telah dipilih GPSK. Materi cerita rakyat dapat dilihat di www.kembangapi2.blogspot.com
Penulis dapat mencari versi lain dari 25 cerita rakyat yang telah dipilih tersebut, namun harus mencantukan sumber pustaka/online dengan lengkap.
4.Penulis bebas menginterpretasikan cerita rakyat tersebut melalui:
-mengubah setting waktu dan tempat cerita yang disesuaikan dengan zaman sekarang
-tetap menggunakan setting waktu dan tempat seperti dalam cerita rakyat, tetapi membuat pemaknaan (memberi makna) baru.
6.Tema cerita pendek yang ditulis adalah : CINTA, dalam kaitannya dengan segala bentuk hubungan manusia (suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik, individu-masyarakat, dan lain sebagainya).
5.Panjang naskah maksimal 8 halaman folio, diketik dua spasi, font. Arial 11

Naskah diterima oleh GPSK paling lambat pada tanggal 20 Maret 2007, melalui email pedulisekitarkita@yahoo.com atau melalui pos ke Jalan Padang 30, Jakarta Selatan 12970.

Naskah harus disertai biodata singkat penulis. Setiap naskah yang terpilih akan mendapat honor yang layak dan naskahnya akan diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Kembang Api 2.

Bila ada pertanyaan berkaitan dengan proyek penulisan Kembang Api 2, dapat ditanyakan melalui email ke loverenn@gmail.com

Selamat Menulis!

Salam,

Gerakan Peduli Sekitar Kita

Tuesday, February 06, 2007

Ratu Kidul - Cerita Rakyat Jawa Tengah

Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.
Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Misteri Gunung Bromo-Jawa Tengah

Dahulu ketika dewa-dewa masih senang turun ke dunia, kerajaan Majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah. Penduduk bingung mencari tempat pengungsian, demikian juga dengan dewa-dewa. Pada saat itulah dewa mulai pergi menuju ke sebuah tempat, disekitar Gunung Bromo.

Gunung Bromo masih tenang, tegak diselimuti kabut putih. Dewa-dewa yang mendatangi tempat di sekitar Gunung Bromo, bersemayam di lereng Gunung Pananjakan. Di tempat itulah dapat terlihat matahari terbit dari Timur dan terbenam di sebelah Barat.

Di sekitar Gunung Pananjakan, tempat dewa-dewa bersemayam, terdapat pula tempat pertapa. Pertapa tersebut kerjanya tiap hari hanyalah memuja dan mengheningkan cipta. Suatu ketika hari yang berbahagia, istri itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya tampan, cahayanya terang. Benar-benar anak yang lahir dari titisan jiwa yang suci. Sejak dilahirkan, anak tersebut menampakkan kesehatan dan kekuatan yang luar biasa. Saat ia lahir, anak pertapa tersebut sudah dapat berteriak. Genggaman tangannya sangat erat, tendangan kakinya pun kuat. Tidak seperti anak-anak lain. Bayi tersebut dinamai Joko Seger, yang artinya Joko yang sehat dan kuat.

Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Waktu dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng.

Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.

Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.

Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.

Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.

Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok.
Dengan kegagalan Bajak membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara Anteng dan Joko Seger sebagai pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling mengasihi.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.
Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Sl KULUP YANG DURHAKA-Cerita rakyat dari Sumatera selatan

Cerita ini berasal dari Belitung. Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang ada dalam hutan. Hasil pencahariannya dijual di pasar.
Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.
Suatu ketika, ayah si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayahnya si Kulup sebatang tongkat berada pada rumpun bambu. Pak Kulup demikian orang menyebut ayah si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul dan dibersihkan ternyata tongkat bertabur intan permata, dan merah delima.
Ia juga tetap membawa rebung pulang, karena dari situlah mata pencahariannya sehari-hari. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut, membawa tongkat pulang ke rumah. Sesampai di rumah, didapatinya si Kulup sedang tiduran. Isterinya berada di rumah tetangga.
Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tapi pemuda itu tidak mau. la baru saja pulang mendorong kereta. Badan masih lelah. la tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.
Pak Kulup pergi menyusul isterinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah, mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.
Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab: "Mau disimpan di mana. Kita tidak punya lemari."
Kemudian Si Kulup pun usul: Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya."
Akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat itupun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.
Setelah si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. la tetap tinggal di rantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar kaya maka ia pun diambil menantu oleh saudagar paling kaya di negeri tersebut.
Si Kulup sudah beristeri. Mereka hidup serba berlebih. Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dirantau, oleh mertuanya si Kulup disuruh berniaga ke negeri lain bersama isterinya. Si Kulup lalu membeli sebuah kapal besar. la juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.
Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti: ayam, itik, angsa, burung.
Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. Sangatlah rindu kedua orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan kesukaan si Kulup seperti : ketupat, rebus belut, panggang dan sebagainya. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.
Sesampai di kapal kedua orang tua itu mencari anaknya si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya melihat kedua or-ang tuanya merasa malu. Maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang.
Saudagar kaya itu marah sambil berucap: "Pergi! Lekas pergi." Aku tidak punya orang tua seperti kau. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau. Enyahlah, engkau dari sini!"
Pak Kulup dan isterinya merasa terhina sekali. Mereka cepat cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang mereka terima hanyalah umpatan caci maki dari anak kandungnya sendiri.
Setibanya di darat, emak si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. la benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi. la berucap: "Kalau saudagar itu benar-benar anakku si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam."
Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak si Kulup pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan luar biasa pada penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.
Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu, muncullah sebuah pulau yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatang bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan Pulau Kapal.

Nyai Dasima - Cerita rakyat Jakarta

Di suatu rumah terlihat Tuan Edward sedang sibuk membaca buku tebal. Sekali-sekali dia membuat catatan. Lalu, meneruskan membaca lagi. Sementara itu Dasima, seorang gadis remaja berumur 13 tahun, datang ke rumah Nyonya Bennet untuk meneruskan pelajaran menjahitnya. Pada kesempatan lain dia juga belajar memasak. Dasima memang tidak mengecewakan. Dia mudah mengerti pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya.
Akhirnya Nyonya Bennet berkata, "Kamu sudah mendapatkan semuanya, Dasima. Kukira cukup untuk bekal hidupmu kelak. Kamu amat disayang oleh majikanmu, bukan?"
Dasima tersipu.
"Tuan Edward orang baik, Dasima. Selama kamu bisa membawa diri dan bisa mengambil hatinya, kukira kamu akan sukses."
Dasima mengucapkan terima kasih. Sejak itu dia hidup bersama majikannya. Dia tidak pulang ke kampungnya. Dia tinggal di situ untuk selamanya. Dari hubungan itu, Dasima mendapatkan seorang anak perempuan bernama Nancy. Anak itu cantik dan manis, tidak berbeda dengan anak-anak Eropa lainnya. Tiap hari Nancy bercakap dalam bahasa Inggris, tetapi Dasima mengerti. Nancy lebih fasih mengucapkan, sedangkan Dasima susah serta beraksen melayu dan sering dicampur kata-kata Sunda. Tuan Edward terpingkal-pingkal kalau Nancy meniru gaya ibunya berbicara. Namun demikian, mereka berkomunikasi dengan mesra dan harmonis. Tuan Edward makin sayang kepada Dasima. Uang belanja yang diberikan kepadanya amat berlebihan. Sisanya masih sangat banyak untuk ditabung Dasima.
Setelah hidup bersama selama delapan tahun, keluarga Tuan Edward pindah ke Batavia. Rumah dan pekarangan yang luas di Curug dijual. Mereka membeli rumah baru di Gambir. Di situ didirikan rumah baru yang mewah dan mentereng. Dasima sebagai nyai besar menunggu rumah bersama Nancy selama siang hari, sedangkan "suaminya", Tuan Edward, bekerja di daerah Kota.
Orang-orang Betawi asli yang tinggal di sekitar Gambir mulai ramai membicarakan kekayaan Tuan Edward. Tentunya sangat beruntung Dasima jadi kesayangannya. Para wanita iri kepada Dasima. Mereka semua ingin menjadi nyai Tuan Edward, sedangkan para lelaki mengirikan Tuan Edward. Mereka semua ingin jadi suami Dasima. Dasima terlalu cantik untuk orang Inggris bungkuk itu.
Samiun, seorang laki-laki kasar dari kampung Pejambon, segera merencanakan usahanya untuk mendekati Dasima. Untuk maksud itu, dia menyuruh Mak Buyung sebagai pembuka jalan. Orang tua setengah baya itu disuruh menjajakan telur di rumah Tuan Edward. Dasima membeli beberapa butir. Sejak itu Mak Buyung menjadi langganan Dasima. Lama-kelamaan dia sudah sangat biasa keluar masuk rumah Tuan Edward. Dia pandai memikat Bicaranya ramah. Mak Buyung sudah menjadi orang kepercayaan Dasima. Berbincang-bincang intim sering mereka lakukan. Mak Buyung bebas sekali berbicara. Soal agama sering disebut-sebut. Mak Buyung secara terang-terangan mengecam hubungan Tuan Edward dengan Dasima.
"Hubungan Neng dengan tuan baik sekali," kata Mak Buyung pada suatu siang, "hanya sayang, Tuan Edward bukan lelaki idaman. Selama kenal dengan saya, Neng benar-benar tampak menyembunyikan kesedihan. Apakah Neng menyesal telah berhubungan gelap dengan lelaki Eropa? Jangan khawatir, Neng. Saya berusaha untuk membikin tenteram hati Neng. Bacalah doa lima kali dalam sehari dan lepaskan diri Neng dari lelaki Eropa itu!" Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut supaya tidak menyinggung perasaan Dasima.
Pada suatu hari, Samiun pergi ke rumah Pak Salihun di Pecenongan untuk meminta mantra.
"Assalamualaikum," Samiun memberi salam.
"Alaikum salam," jawab Pak Salihun, "ada apa, Un?"
Samiun menerangkan maksudnya dengan setengah berbisik. Maklum, yang diceritakan soal perempuan. Bukan soal istrinya, Hayati, atau mertuanya, Ibu Saleha, tetapi Dasima, yang sudah makin dikenal sebagai nyai Tuan Edward di Gambir.
"Saya mengerti, Un," jawab Pak Salihun sambil tertawa panjang.
"Tidak tercela lelaki yang bermaksud meluruskan perempuan yang kurang benar. Itu mudah, Un."
Setelah segala syarat dipenuhi Samiun, Pak Salihun membaca jompa-jampi. Mulutnya komat-kamit. Doa-doa pun mengiringinya. Asap dupa mengepul sepanjang malam di kamarnya yang tertutup.
Pada suatu siang Dasima terheran-heran. Dia melihat Mak Buyung membawa setandan pisang dan buah-buahan lainnya yang diturunkan dari punggung seorang pembantunya.
"Apa-apaan ini, Mak Buyung?" kata Dasima.
"Sekadar oleh-oleh. Ini tanda persahabatan dari Hayati, keponakanku. Dia kirim salam untuk Neng."
Segan juga Dasima menerimanya. Terpaksa dia mengucapkan terima kasih.
"Hayati adalah istri Samiun. Ibu Saleha, ibu mertua Samiun, adalah guru mengaji. Mengajilah padanya. Nanti Neng akan makin banyak kawan serta dapat pahala."
Pembantu yang bekerja di rumah Dasima mendapat ajakan pula dari Mak Buyung. Ini dilakukan Mak Buyung agar maksud sesungguhnya tidak diketahui Dasima.
Empat hari kemudian Samiun mendapat dua bungkus ramuan dari Pak Salihun.
"Campurkan ramuan ini ke dalam minuman Dasima, Mak Buyung. Sedikit-sedikit saja," pesan Samiun kepada orang tua itu.
"Akan beres semuanya, Un."
Ke dalam genggaman Mak Buyung sekali lagi Samiun menyelipkan lembaran uang yang membuat Mak Buyung amat senang.
Satu bungkus ramuan itu dimaksudkan untuk Dasima. Satu bungkus lainnya untuk Tuan Edward. Dengan ramuan yang diminum nanti, Dasima bisa goncang hatinya dan membenci Tuan Edward. Dengan ramuan itu pula, Tuan Edward akan selalu tunduk dan menuruti setiap kemauan Dasima.
Hasilnya?
Sampai sebulan belum tampak gejalanya, masih seperti biasa. Mak Buyung gelisah. Dasima belum ada hasrat belajar mengaji di rumah lbu Saleha. Tampaknya Dasima makin sayang kepada tuannya.
Mak Buyung bingung.
Rupanya Dasima orang luar biasa, pikirnya. Mantra-mantra Pak Salihun tidak mempengaruhi jiwa Dasima. Ibu Saleha dan Hayati di Pejambon mendapat laporan dari Mak Buyung. Mereka berunding mencari jalan lain agar Dasima bisa cepat ditundukkan. Pada mulanya agar Samiun mengecap kesenangan, kemudian Hayati dan ibunya akan mendapat bagian juga.
Keesokan harinya, Mak Buyung datang lagi ke rumah Dasima. Dia menceritakan bahwa Hayati dan ibunya ingin berkunjung memperkenalkan diri. Apakah Dasima, tidak keberatan menerima kedatangan mereka?
"Dengan senang hati, Mak Buyung," jawab Dasima.
Pada hari yang ditentukan, Ibu Saleha dan Hayati datang. Mereka tidak lupa membawa oleh-oleh dari Pejambon. Sangat ramah wajah mereka. Tersenyum dan tertawa-tawa gembira. Seperti orang yang sudah kenal bertahun-tahun. Dasima senang sekali. Dia bercerita yang ringan-ringan saja.
"Sudah berapa tahun bersama Tuan Edward?" tanya Hayati tiba-tiba kepada Dasima.
Dasima menceritakan seluruh jalan hidupnya, sejak perawan dan hidup bersama Tuan Edward. Sudah delapan tahun lebih dan mendapatkan seorang anak perempuan yang cantik.
"Neng sangat cantik," timpal lbu Saleha, "sehingga Nancy menurun seperti ibunya. Hanya sayang ...."
"Sayang apanya?" tanya Dasima.
"Seharusnya Neng tidak hidup bersama Tuan Edward."
"Habis dengan siapa?"
"Dengan bangsa sendiri," jawab lbu Saleha tegas.
"Tetapi, tuan saya baik," Dasima membela diri, "dia terlalu sayang kepada saya dan Nancy. Uang belanja yang diberikan kepada saya berlimpah. Masih sangat banyak bersisa, biarpun sudah digunakan untuk belanja sebulan. Belum lagi pakaian-pakaian bagus serta perhiasan yang dibelikan pada saat-saat tertentu. Saya amat bersyukur."
Setelah tamu-tamu itu pulang, Dasima termenung sebentar. Ada beberapa perkataan mereka yang tinggal di dalam hatinya. Mereka berkata bahwa hal yang harus dicapai manusia selama hidup adalah kesenangan, kekayaan, dan kehormatan. Kesenangan dan kekayaan sudah dicapai berkat tuannya, tetapi kehormatan? Mereka sering mencela. Berarti masih belum terhormat kedudukannya. Dasima termenung lagi. Tuan Edward orang baik. Tidak tercela. Tidak melukai hatinya. Itu sudah cukup terhormat. Perlukah orang lain menghormatinya? Belum puaskah dia memiliki Nancy?
Pada hari berikutnya Mak Buyung melihat Dasima termenung di kebun belakang. Dia lalu bertanya, "Sedang memikirkan apa, Neng?"
"Tidak memikirkan apa-apa."
"Sakit?"
"Saya.tidak sakit."
"Kelihatannya memikirkan sesuatu. Apa itu? Barangkali Mak Buyung bisa Bantu”.
Dasima menceritakan kesulitannya.
“Kalau saya mengaji di rumah Ibu Saleha, jangan-jangan nanti Tuan Edward marah kepada saya.”
"Kenapa Neng harus takut kepadanya? Jika dia benar-benar sayang kepada Neng, tentunya dia tidak akan melarang. Coba kalau dia dapat perempuan sebangsanya, sama-sama Wit putih, dia pasti akan membuang Neng. Dia pulang ke negerinya. Anak Neng diambil dan Neng dipulangkan ke desa asal. Neng merana sendirian di dunia. Neng ingin tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap kehidupan seperti ini?" kata Mak Buyung, "Mereka menyebut kehidupan berzina, tidak menikah sah sebagaimana ditetapkan Nabi Muhammad. Sekarang tinggal pilih, hidup dikutuk masyarakat atau hidup dalam kedamaian dengan menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya sesuai Hadits dan Qur'an?"
Dasima tidak bisa membantah. Dia mengikuti desakan-desakan Mak Buyung. Tanpa sepengetahuan tuannya dia sudah jadi "murid" Ibu Saleha.
Satu minggu kemudian Ibu Saleha berkata, "Saya akan membayar kaul yang pernah saya ucapkan sebab Samiun sudah sembuh. Kaulnya akan dibayar dengan pertunjukan topeng. Nanti Neng datang, ya."
Senang juga Dasima datang di pesta besar pada hari yang telah ditentukan itu. Tetangga datang berjubel. Samiun dan Hayati menyambut kedatangan Dasima dengan wajah ceria. Dia dipersilakan masuk dengan penuh hormat. Bunyi gamelan galaganjur menggema. Hayati membimbing Dasima ke kursi yang sudah disediakan, lain dari yang lain, sehingga ia setiap orang yang hadir pasti tahu bahwa dia tamu yang harus dipandang istimewa.
"Itu Nyai Dasima," bisik para perempuan.
Mata mereka menatap dan melirik.
"Dia cantik sekali," bisik yang lain kepada teman perempuan di sebelahnya.
"Memang dia cantik, kalau tidak bagaimana tuannya mau."
"Ya, memang nasib dialah yang mujur. Cantik itu menyebabkan dia kaya."
"Dan terkenal."
"Lihat itu tuan rumah, Samiun, seperti menghadapi seorang ratu. Segala keperluan diletakkan di dekat Nyai Dasima. Lihat, dia membawa tempat sirih dan ditawarkan kepada Nyai Dasima. Samiun keterlaluan menghormatinya. Apa maksud dia sebenarnya?"
Teman yang dibisiki balas berbisik, "Paling tidak cari muka. Zaman sekarang banyak orang cari muka. Siapa tahu Tuan Edward memberikan perhatian kepada Samiun."
"Samiun_pintar juga, ya. Bukan main."
Pertunjukan topeng itu diselenggarakan siang hari, tetapi sangat menarik perhatian pengunjung. Jam dua siang Dasima diantar pulang ke rumahnya di Gambir oleh Samiun dan Hayati.
Dua minggu berselang, Mak Buyung sudah bercakap-cakap lagi dengan Dasima.
"Neng tahu bagaimana kesan Samiun setelah dipestakan?"
"Bagaimana dia, Mak Buyung, ceritakanlah!"
"Dia selalu terkenang kepada Neng. Dia tidak enak makan dan minum. Dia ingin Neng jadi istrinya. Asalkan Neng mau, Hayati akan segera diceraikannya. Neng akan diajak naik haji ke Mekkah. Jika Neng setuju, kirimkanlah tanda cinta kepadanya!"
Dasima kaget sekali. Dia geleng-geleng kepala terhadap keberanian Samiun. Dia juga ikut termenung, tidak bisa makan dan tidur seperti biasanya. Terbayang wajah Samiun. Lelaki itu menarik juga daripada Tuan Edward yang bungkuk dan pendengarannya mulai berkurang. Lama-kelamaan Dasima benci kepada Tuan Edward karena dia sering mengulang bicara. Meskipun sudah keras bicara, Tuan Edward masih salah dengar juga. Itulah sebabnya tiga hari kemudian Dasima mengirimkan sapu tangan sutra sebagai tanda cinta kepada Samiun melalui Mak Buyung.
Keesokan harinya, setelah Tuan Edward pergi ke tempat kerjanya di Kota, Samiun datang ke rumah Dasima. Samiun berkata lembut, merayu, sambil menggenggam tangan Dasima..
"Lepaslah kau dari tangan tuanmu, Dasima," kata Samiun pada suatu siang, "dengan aku orang sebangsamu ini kau tidak akan telantar. Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak akan telantarkan hidupmu. Lain dengan dia orang Eropa. Sewaktu-waktu dia bisa pulang ke negeri asalnya."
Rayuan serta tindakan Samiun mulai menunjukkan hasil. Suatu sore Dasima mendekati Tuan Edward. Dia mulai mengemukakan maksudnya. Tuan Edward amat kaget. Seperti main-main saja omongan Dasima sampai di telinganya.
"Aku memang ingin pergi, Edward. Sudah lama maksudku ini. Barang-barang milikku termasuk uang simpanan, akan kubawa semua."
“Tetapi, aku belum ingin berpisah denganmu, dasima,” jawab Tuan Edward tidak kunjung mengerti, “kita tidak punya persoalan. Kau tidak bersalah, aku pun tidak. Mengapa harus berpisah? Mengapa bercerai?"
"Perjodohan kita sudah selesai," jawab Dasima, "pokoknya aku berhenti menjadi piaraanmu, Edward. Diberi izin atau tidak, aku akan pergi dari rumah ini."
Tuan Edward menangis. Dasima tidak peduli. Dia membawa seluruh harta perhiasannya yang menurut notaris bernilai enam ribu gulden zaman itu. Masih ditambah segala perabot rumah tangga yang mahal harganya. Bersama Mak Buyung, dua pedati membawa barang-barang itu ke suatu tempat di Pejambon.
Samiun, Hayati, serta lbu Saleha menerima kedatangan Dasima dengan mata hijau karena mereka berniat memiliki harta itu secara tuntas. Malam itu juga tetangga-tetangga dikumpulkan. Samiun secara sah diresmikan sebagai suami Dasima. Karena sudah menjadi suami, hak suamilah menyimpan seluruh kekayaan Dasima.
Pakaian-pakaian Dasima yang bergaya Eropa harus diganti kain atau sarung seperti dikenakan orang-orang kampung Pejambon. Cukup bahan dari cita biasa, kain hitam bekas milik Hayati. Giwang, gelang, serta cincin bertabur intan diganti pirus sederhana, kaca, atau belah rotan dari perak. Dasima juga harus bekerja keras di dapur.
Sebulan kemudian, pembantu di rumah Samiun tidak melayani Dasima lagi. Hayati dan lbu Saleha mulai tampak belangnya. Wajah mereka cemberut dan perkataan mereka kasar membentak-bentak. Menjadi kenyataan sudah nasib Dasima jauh di bawah kaki Hayati. Samiun pun berjudi. Barang-barang Dasima dihabiskan untuk bersenang-senang.
Dasima makin sedih ketika melihat sikap lbu Saleha dan Hayati sesudah harta miliknya habis. Mereka bukan saja marah dan benci, tetapi membentak, memaki, serta menghina dia serendah-rendahnya.
Dasima mulai menyesal, ingat Nancy yang ditinggalkan. Dia merasa berdosa besar kepada Tuan Edward, orang yang baik, pemurah, dan penyabar. Malu. Mau mati saja rasanya. Samiun penipu, penjudi besar, serta perampok berkedok alim. Dia masih cinta kepada Hayati. Dengan terus terang dia menggandeng penuh mesra Hayati di depannya sambil mengejek dan menyuruh Dasima bekerja di dapur. Kalau semua sudah makan, barulah giliran Dasima makan sambil menangis serta terus-menerus menyesali diri.
Samiun mengira Dasima masih mempunyai harta yang disembunyikan. Dia ingin menguasai seluruhnya, timbul hasratnya untuk melenyapkan nyawa Dasima. Dia lalu menjumpai Bang Puasa, seorang pembunuh sewaan yang tersohor pada zaman itu.
"Aku bersedia menyediakan upah yang besar, Bang," janji Samiun, "pokoknya kerja abang beres, jangan khawatir!"
"Ya," kata Bang Puasa, "tetapi selama ini aku belurn pernah membunuh perempuan. Tidak tega tanganku melakukannya."
"Apa bedanya perempuan dengan lelaki, Bang? Sama saja, bukan?"
"Tidak sama, Un. Perempuan adalah kaum yang harus dilindungi lelaki."
"Tetapi, aku sudah tidak bisa memeliharanya lagi. Jadi, selesaikan dial"
Bang Puasa bingung.
Setelah dijelaskan lagi persoalannya oleh Samiun yang nekad itu barulah algojo bayaran itu mengerti dan menyanggupi untuk melakukan tugas.
Pada hari yang ditentukan, Samiun mendekati Dasima.
"Ada undangan untuk kita berdua dari kampung Ketapang, Dasima," kata Samiun, "di sana kita menghadiri orang membaca Hikayat Amir Hamzah. Biarlah Hayati tinggal di rumah. Berdandanlah!"
Dasima gembira. Lalu, dia bersiap-siap pergi. Mereka melewati kampung Kwitang menghampiri kenalan Samiun, yaitu Bang Puasa. Lalu, mereka berjalan melalui jalan kecil menerobos kebun Mak Musanip.
Si Kuntum, pembantu Samiun, berjalan paling depan membawa obor. Malam gelap. Persis beberapa langkah setelah melewati kebun Mak Musanip, Bang Puasa segera memukulkan besi ke kepala Dasima. Akan tetapi, meleset hanya kena pundak Dasima. Dasima menjerit minta tolong. Bang Puasa mengulangi memukulkan besi itu. Kali ini kepala Dasima kena. Dasima sempoyongan. Lalu, dia terkapar tidak bernapas lagi. Kuntum lemas karena ketakutan. Samiun dan Bang Puasa cepat menyeret mayat Dasima untuk diceburkan ke kali.
Si Kuntum diancam majikannya, "Kalau sampai mulutmu menyiarkan rahasia ini, nanti kamu saya bikin seperti Dasima juga!"
Kuntum gemetar.
Tidak disangka bahwa tepat pada saat kejadian itu Mak Musanip dan Gani tidak pergi. Mak Musanip sedang buang hajat dan Gani asyik memancing ikan. Mereka langsung bersembunyi ketika terjadi pembunuhan itu. Mereka tahu semua.
Sementara itu, lbu Saleha dan Hayati sudah menjauh ke Kampung Melayu, Mereka dan Mak Buyung marah, tidak suka kepada Samiun. Pada saat terakhir hidupnya, Dasima pernah mengancam akan lapor ke pengadilan. Namun, perbuatan Dasima itu tidak harus dihukum dengan kekerasan. Itulah yang menghantui pikiran lbu Saleha dan Hayati. Ketika hari yang ditentukan oleh Samiun sudah lewat, mereka semakin resah, takut, dan curiga kepada setiap orang yang datang. Barangkali saja ada yang mau menangkap mereka.
Samiun sudah berkumpul kembali dengan Hayati.
"Sudah beres semua, Hayati," kata suaminya, "kalau ada yang tanya ke mana Dasima, bilang saja dia pulang ke Kuripan."
Wajah Samiun pucat. Bicaranya gemetar. Tindakan-tindakannya tidak tenang.
Pada zaman itu, banyak orang Eropa memanfaatkan sungai untuk mandi. Tepian sungai dibuat sedemikian rupa sehingga berundak-undak dan diberi tutup yang nyaman hingga tidak kelihatan dari luar. Ternyata, mayat Dasima tersangkut di tempat pemandian Tuan Edward. Tuan Edward masih mengenali mayat bekas kekasihnya itu. Salah seorang pembantunya menceritakan bahwa selama ini Mak Buyung sering tampak bersama Dasima. Dia yang membujuk agar Dasima mau menikah dengan Samiun. Tempat tinggal mereka di Kampung Pejambon.
Tuan Edward segera melapor kepada kepala kampung setempat. Polisi memeriksa mayat Dasima. Wali kota mengumumkan kepada seluruh masyarakat agar secepatnya memberikan bantuan keterangan. Mereka yang berhasil menyingkap peristiwa itu akan mendapat imbalan sangat memuaskan. Uang 200 pasmat pada waktu itu bukan main besarnya. Pendapatan petani biasa pada waktu itu tidak lebih dari 5 pasmat tiap hari.
Ibu Musanip dan Gani datang melapor. Mereka bercerita dengan tegas tanpa ragu-ragu bahwa pelaku utamanya adalah Bang Puasa dan orang yang terlibat langsung adalah Samiun, dibantu si Kuntum.
Polisi menyebar dan menggeledah rumah Samiun di Pejambon. Kuntum yang lebih dulu mengakui perbuatannya. Penduduk jadi ramai.
Ketika polisi datang, Bang Puasa sedang membersihkan besinya yang masih berlepotan darah kering. Kemudian, mereka langsung dimasukkan ke penjara balai kota.
Ketika polisi menangkap Kuntum, Samiun masih sempat melarikan diri ke dalam hutan. Satu regu pasukan polisi dikirim untuk menaklukkannya. Samiun menyerah dan dijebloskan ke penjara bersama Kuntum dan Bang Puasa.

Kesimpulan .
Nyai Dasima adalah cerita klasik Betawi yang menggambarkan kehidupan nyai-nyai Belanda atau Inggris masa lalu, antara lain yang berakhir tragis seperti ini. Intinya berpulang kepada sikap masyarakat waktu itu, di samping pribadi masing-masing yang iri, dengki atau memang berhati jahat tidak senang melihat kebahagiaan orang lain. Akhirnya, orang yang berbuat jahat ditangkap dan mendapat ganjaran yang setimpal.

Monday, February 05, 2007

Reog Ponorogo-cerita rakyat Jawa Timur

Alkisah, dahulu kala di Kerajaan Kediri ada seorang puteri raja yang sangat cantik bernama Dewi Sanggalanggit. Puluhan raja maupun putra mahkota datang melamar. Pada Suatu hari datang dua orang pelamar.
“Nama hamba Patih Bujang Ganong, utusan raja Kelana Suwandana dari Kerajaan Wangker. Hamba datang untuk menyampaikan lamaran Sri Baginda kepada tuan Puteri,” kata seorang pelamar sambil menyembah Dewi Sanggalangit.
“Patih Inderkala namaku! Aku utusan raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya!” kata seorang pelamar, yang bertampang angker.
”Tuan Puteri harus menerima lamaran rajaku!” katanya bernada memaksa.
Untuk menerima dan memberi jawaban lamaran raja kalian, aku minta waktu selama tujuh hari,” jawab Dewi Sanggalangit singkat.
“Anakku, kau harus segera menentukan pilihan lamaran dari kedua raja itu. Sebab kalau tidak segera memberi keputusan, kedua raja sakti pasti akan menghancurkan negeri kita,” kata ayah Dewi Sanggalangit khawatir.
“Ananda ingin mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi mereka,” ujar Dewi Sanggalangit.
“Katakan syarat itu,” desak ayahnya.
Dewi Sanggalangit menjelaskan syarat-syarat bagi para pelamar. “Pertama, ia harus bisa menyediakan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar yang dinaiki pemuda-pemuda rupawan. Kedua, ia harus membawa seekor binatang berkepala dua. Ketiga, ia harus bisa menyajikan tontonan yang menarik. “
Ayah Dewi Sanggalangit segera menyampaikan syarat tersebut kepada Patih Bujang Ganong dan Patih Inderkala. Kedua Patih itu pun segera pulang ke kerajaan masing-masing. Patih Bujang Ganong segera menghadap Raja Kelana Suwandana dan menyampaikan syarat yang dikehendaki Dewi Sanggalangit.
“Baiklah akan kusanggupi syarat yang diminta Dewi Sanggalangit,” kata raja Kelana Suwandana mantap. Berkat kesaktiannya, 144 ekor kuda kembar telah siap dipersembahkan kepada Sang Dewi.
Namun, di tengah-tengah persiapan itu Raja Kelana Suwandana dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang tidak dikenal.
Kedua orang yang tidak dikenal itu segera ditangkap. Mereka bernama Ardawalika dan Lodra, utusan Raja Singabarong yang bermaksud memata-matai Raja Kelana Suwandana.
“Apa maksud kalian memata-mataiku!” bentak Raja Kelana Suwandana.
“Terus terang hamba ingin tahu syarat-syarat yang telah dipersiapkan Sri Baginda Kelana Suwandana dalam melamar Dewi Sanggalangit,” jawab Ardawakila dan didukung Lodra.
“Setelah itu hamba diperintahkan Sri Baginda Singabarong untuk menghancurkannya,” jelas kedua utusan itu.
“Hem, kalau begitu serang Kerajaan Lodaya!” perintah Raja Kelana Suwandana kepada Patih Bujang Ganong.
Patih Bujang Ganong segera membentuk pasukan khusus untuk menyerang Kerajaan Lodaya. Setelah semuanya siap, mereka segera berangkat. Ketika pasukan Patih Bujang Ganong berada di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh pasukan Kerajaan Lodaya dibawah pimpinan Patih Iderkala. Terjadilah pertarungan seru. Kedua patih yang saling kenal itu saling mengadu kekuatan dan kesaktian. Dalam pertarungan itu, Patih Iderkala terlambat mengelak. Dalam sekejap keris bertuah Patih Bujang Ganong telah menghujam dada Patih Iderkala. Patih Iderkala tewas seketika.
Sementara itu, di Istana Kerajaan Lodaya, Raja Singabarong tidak sabar menunggu berita kedatangan Patih Iderkala.
“Aku harus segera menyusul ke Kerajaan Wengker!” kata Raja Singabarong. “Aku harus segera menghancurkannya!” tekadnya.
Raja Singabarong yang bersifat kurang sabar itu, segera memacu kudanya dengan diiringi para prajurit pilihannya menuju Kerajaan Wengker. Di tengah perjalanan, raja Singabarong dikejutkan oleh mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Ha ? Inikah mayat Patihku ? Siapakah pembunuhnya ?” kata raja Singabarong bertanya-tanya.
“Akulah pembunuhnya!” Patih Bujang Ganong datang tiba-tiba.
“Keparat! Kuhancurkan kau!” tantang Raja Singabarong.
Dalam sekejap terjadi pertarungan seru. Karena kalah sakti, Patih Bujang Ganong segera bertekuk lutut.
Saat Raja Singabarong mengarahkan ujung tombaknya ke dada Patih Bujang Ganong, bersamaan itu pula datang sekelebat seorang lelaki.
“Tunggu! Akulah tandinganmu!’ teriaknya keras. Lelaki itu tidak lain adalah Raja Kelana Suwandana.
Raja Singabarong mengurungkan niat membunuh Patih Bujang Ganong. Ia mengalihkan perhatiannya dan menjawab tantangan Raja Kelana Suwandana. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran sengit.
Berbagai ilmu olah kanuragan dan senjata sakti dikerahkan. Pohon-pohon bertumbangan terkena sasaran senjata sakti dari kedua Raja itu. Lereng gunung maupun bukit tanahnya longsor terimbas oleh berbagai ilmu olah kanuragan.
Setelah berbagai senjata maupun kesaktian diadu, pertarungan kedua Raja itu makin mengendor. Terutama tampak pada kegesitan gerak Raja Singabarong yang semakin lamban. Ia sekali-sekali berhenti dan mengaruk-garuk kepalanya. Kenapa demikian ? Hal itu dikarenakan kepalanya dipenuhi kutu-kutu ganas. Bila di Istana, raja Singabarong mempunyai seekor burung merak yang selalu setia mematuki kutu-kutu di rambutnya, sehingga kepalanya terasa dipijit-pijit.
Namun, sekarang ini dalam keadaan perang. Burung merak tidak mungkin mencari kutu-kutu di rambutnya. Nah, karena gangguan kutu, Raja Singabarong tidak dapat memusatkan perhatian dalam pertarungan itu.
“Kalau begini, lebih baik aku segera melarikan diri dari kancah pertempuran,” gumam Raja Singabarong, sambil mengambil langkah seribu.
Raja Kelana Suwandana tidak mau kehilangan kesempatan menghabisi Raja Singabarong. “Inikah binatang berkepala dua yang diinginkan Dewi Sanggalangit?” gumam Raja Kelana Suwandana, ketika melihat seekor burung merak mematuki kutu di rambut Raja Singabarong yang berkepala harimau itu.
“Jadilah kau binatang berkepala dua!” kutuk Raja Kelana Suwandana setelah mengheningkan cipta. Dalam beberapa saat seekor burung merak itu menyatu di bahu raja Singabarong. Raja Singabarong marah besar dan langsung menyerang membabi buta. Dengan gesit, Raja Kelana Suwandana mengindar. Lantas ia mengeluarkan cemeti sakti dan dicambukkannya di tubuh Raja Singabarong.
Raja Singabarong menghindar dengan cara berguling-guling di tanah. Aneh bin ajaib Raja Singabarong berubah menjadi binatang berkepala dua.
Melihat kejadian itu, Raja Kelana Suwandana merasa telah memiliki syarat yang diminta Dewi Sanggalangit. Maka, ia segera mengajukan lamaran. Perjalanan iring-iringan Raja Kelana Suwandana ke Kerajaan Kediri sungguh menarik. Rombongan pertama, berupa 144 ekor kuda kembar yang ditunggangi para pemuda tampan. Rombongan kedua seekor binatang berkepala dua, yang tak lain adalah jelmaan raja Singabarong, dan di belakangnya diikuti rombongan penari dan pembawa alat tetabuhan.
“Lamaran Sri Baginda, hamba terima,” jawab Dewi Sanggalangit mengumbar senyum. Perkawinan kedua orang itu segera dilaksanakan.
Di alun-alun Kerajaan Kediri diselenggarakan pertunjukan tari-tarian dengan diiringi berbagai tetabuhan. Pertunjukkan itu kemudian dinamai ”Reog”. Nah Karena Reog itu berasal dari Ponorogo, maka disebut Reog Ponorogo.

Pesan Moral
Keangkuhan, kesombongan, tinggi hati dapat menjadi bumerang pada diri kita. Marilah kita jauhkan sifat yang tidak baik itu, sehingga kita dapat dihargai oleh lain dan terhindar dari tulah.

Asal usul danau Lipan-cerita rakyat dari Kalimantan Timur

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing."

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.

Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

(Disadur dari Masdari Ahmad, Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1979)

Mirah Singa betina dari Marunda-Cerita Rakyat Betawi

p
ada suatu malam, centeng-centeng di rumah Babah Yong di Kemayoran terkapar di lantai. Babah Yong sendiri terikat di tiang ruang tengah. Perabot rumah berantakan. Barang-barang berharga dibawa kabur kawanan perampok.
Malam itu juga, Tuan Ruys penguasa daerah Kemayoran segera datang mempelajari bekas-bekas perampokan. Di situ juga hadir Bek Kemayoran. Petugas lain yang ikut sibuk adalah para opas.
"Tangkap Asni!" perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran. Keesokan harinya seorang pemuda yang gagah sudah diborgol dan ditahan di kantor Opas Kemayoran. Bek Kemayoran melaporkan hasil tangkapannya kepada Tuan Ruys.
"Langsung saja masukkan ke penjara, Saeyan!" perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran.
Asni keberatan dimasukkan ke penjara. Dia menjelaskan bahwa dia tidak berbuat apa-apa. Malam itu dia di rumah. Dia tidak pergi ke mana-mana. Sak-sinya juga berkata kalau malam itu Asni di rumah.
Setelah diselidiki dengan teliti, akhirnya Asni di-lepas kembali, tidak jadi dimasukkan ke penjara. Namun, ada syaratnya, yaitu dia harus sanggup me-nangkap perampok sebenarnya. Kalau tidak berhasil, dia akan dijebloskan kembali ke penjara.
Sementara itu, di Marunda ada seorang gadis remaja cantik bernama Mirah. Ibunya sudah lama meninggal, saat dia berusia tiga tahun. Bapaknya, Bang Bodong, belum mau menikah lagi. Dia selalu teringat istrinya yang tercinta. Oleh karena itu, Bang Bodong sangat menyayangi Mirah. Dia asuh Mirah dengan baik. Mirah dididik dengan penuh kesabaran agar kelak menjadi wanita yang dapat dibanggakan. Anehnya, Mirah lebih suka bermain dengan kawan--kawan lelaki. Dia senang mendayung sampai ke muara atau berenang tiap hari di Sungai Blencong. Tidak aneh kalau Mirah sering adu renang dari se-berang sungai ke seberang lainnya.
Selain itu, Mirah juga tertarik pada ilmu silat. Dia bergabung dengan kawan-kawan lelakinya untuk ber-latih silat. Dia bukan saja berbakat, tetapi juga pem-berani. Melihat hal itu Bang Bodong melatih sendiri putrinya dengan lebih tekun. Dalam waktu singkat, ketangkasan Mirah sangat mengesankan. Sering dia diadu dengan kawan-kawan lelakinya. Tidak seorang pun sanggup menandingi ketangkasan Mirah. Semua lelaki yang dihadapi dikalahkannya. Mirah sangat di-segani dan tidak ada duanya di kampung Marunda.
Bapaknya merasa khawatir terhadap masa depan putrinya. Bagaimanapun Mirah adalah wanita, kelak memerlukan seorang pendamping, seorang pelindung, dan seorang suami. Kalau semua lelaki yang datang selalu ditolak, Mirah nantinya tidak menikah. la akan menjadi perawan tua.
Pada saat itu Asni melakukan penyelidikan ke Marunda. Dia ditegur penjaga gardu. "Apa siang hari begini harus permisi juga?" tanya Asni.
Penjaga kampung Marunda tersinggung men-dengar pertanyaan itu. Asni dipelototi dan segera ditendang. Namun, Asni sudah siap. Tendangan itu membuat penyerangnya hilang keseimbangan dan terjerembab. Kawan yang lain langsung memukul kepala Asni dengan tongkat. Dengan mudahnya Asni menangkap tangan penyerangnya, dipelintir sedemikian rupa hingga orang itu mengaduh kesakitan.
Kedua penjaga kampung itu segera lari ke rumah Bang Bodong. Mereka lapor kalau mereka telah di-serang seorang perusuh yang mabuk. Kontan Bang Bodong marah-marah. Dia mencari perusuh yang di-maksud. Tanpa banyak tanya Bang Bodong me-nyerang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Repot juga Asni menangkis. Bang Bodong memang pendekar berpengalaman. Asni harus hati-hati mengambil Iangkah-langkah mengelak sehingga tidak he-ran kalau Bang Bodong hanya mendapatkan angin. Asni sigap sekali meloncat, bersalto ke belakang, koprol, dan berguling-guling, Akhirnya, Bang Bodong terengah-engah. Tanpa melakukan serangan balasan Bang Bodong sudah jatuh dengan sendirinya.
Mendengar ayahnya dikalahkan Asni yang jauh lebih muda itu, Mirah seperti melayang saat lari menyerang ke arah lawan.
Asni justru senang menghadapi pendekar wanita yang mengamuk. Jurus-jurus Mirah sangat ber-bahaya. Mirah menggunakan tongkat. Hal itu mem-buat Asni jungkir balik. Elakan disertai tepisan tangan membuat Mirah terlempar ke kolam ikan. Tentu saja Mirah ditelan lumpur, tetapi dia bangkit kembali de-ngan cepat.
Kemudian, Asni diserang dengan pedang. Entah bagaimana caranya, pedang terlepas dari tangan dan Mirah terlempar ke pohon yang bercabang-cabang. Saat jatuh ke tanah, tubuh Mirah sudah ditangkap Asni. Mirah geram sekali, sementara Asni tersenyum--senyum. Hal itu membuat Mirah makin marah. Un-tung Bang Bodong mengikuti adu silat itu dengan saksama.
"Jodohmu datang juga akhirnya, Mirah," kata ayah-nya, "kamu harus terima dia sebagai pemenang yang jantan. Kamu tidak boleh ingkar janji. Dia berhak mengambilmu sebagai istri."
Para pengikut Bang Bodong langsung bersorak. Asni diterima bekas musuhnya sebagai keluarga ba-ru. Pada saat itulah Asni menceritakan asal usul dirinya. Dia datang ke Marunda untuk mencari ka-wanan perampok. Dulu perampok itu merampok ru-mah Babah Yong di Kemayoran. Kalau sampai gagal menangkap kawanan perampok itu, dia akan masuk penjara.
Baik Mirah maupun ayahnya segera tahu siapa yang dimaksud. Tidak lain Tirta dan kelompoknya yang sering berbuat onar. Mereka tinggal di Karawang. Untuk menangkapnya tidak sulit, undang saja Tirta dan kawan-kawannya ke pesta perkawinan yang segera dilaksanakan di kampung Marunda.
Undangan disebar, pesta dilangsungkan besar-be-saran. Tamu-tamu Bang Bodong datang dari berbagai pelosok. Ketika Tirta datang, dia amat kaget bertemu dengan Bek Kemayoran. Ternyata bukan Bek saja yang dijumpai, Tirta juga melihat Tuan Ruys. Ke-mudian yang membuatnya paling tidak tenteram du-duk adalah opas-opas dan para centeng Babah Yong. Mereka seperti sudah mengepung dirinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang dapat dilakukan Tirta kecuali mengeluarkan pistolnya. Dia menga-cung-acungkan senjata api itu kearah Bek Kemayoran dan segera ditembakkan. Letusan itu membuat para tamu panik dan bubar. Bang Bodong bermaksud menghalangi Tirta yang ingin menembak Iagi. Pistol meletus dan melukai Bang Bodong. Pen-dekar tua itu terpental dart dadanya berdarah. Dia pingsan tidak sadarkan diri.
Tirta kabur dari tempat pesta itu. Opas-opas mengejarnya. Centeng-centeng ikut mengejar sambil menghunus golok masing-masing. Akan tetapi, dari semua mengejar itu justru Mirah paling cepat. Dia segera tampak berebut pistol dengan Tirta. Setelah beberapa saat terguling-guling di pasir pantai, tiba--tiba letusan pistol menggema. Tirta tampak berwajah pucat sambil merintih kesakitan.
"Pokoknya saya sudah lega dapat berjumpa denganmu, Mirah. Hanya tenda ini yang dapat saya berikan kepadamu," kata Tirta.
Setelah bungkusan itu dibuka, Mirah melihat pen-ding emas yang indah. Dengan terharu Mirah memperkenalkan Asni yang datang menyusul.
"Ini suami saya, Tirta," kata Mirah.
Tirta dan Asni bertatapan.
"Kamu adik saya, Asni," kata Tirta sambil me-meluk, "kita satu ayah. lbu saya dari Karawang, lbumu dari Banten."
Tidak lama kemudian Tirta kehabisan darah dan tidak bernapas lagi. Asni dan Mirah amat sedih. Bang Bodong sudah siuman, dari pingsannya dan men-dapatkan perawatan.
Beberapa minggu kemudian, Asni dan Mirah meninggalkan Marunda. Mereka telah menjadi pasangan suami istri yang berbahagia dan tinggal di Kemayoran sampai tua.