kembangapi_2

Thursday, January 25, 2007

Mamie si anak ajaib - Irian Jaya

Mamle dikejar para lelaki peserta tari untuk dibunuh. Dengan cepat Mamle melarikan diri dan para lelaki itu terus mengejarnya, maka kejar-kejaran pun terjadi. Sewaktu berusaha melarikan diri itu Mamle melihat pohon Enau. Kemudian ia menyadap pohon enau itu dengan seruas Drin (bambu kecil).

"Tuak ini harus dapat memabukkan orang-orang yang akan membunuhku" kata Mamle dalam hati. Tidak berapa lama kemudian pengejar-pengejar itu sampai ditempat Mamle.

"Saudara-saudara, tenanglah dahulu. Sekarang aku menyerah, aku rela kau bunuh. Tapi sebelum kelian melakukannya, minumlah dulu tuak ini sampai habis!" kata Mamle.

Tanpa curiga karena haus, para pengejar itu meminum tuak Mamle. Ketika tuak itu akan habis, Mamle menepuk bagaian bawah bambu itu ke tanah sambil berkata: "Nhon oli! (kembali)" Seketika bambu itu penuh lagi dengan tuak.

Akhirnya, para pengejar Mamle itu menjadi mabuk karena kebanyakan minum tuak. Kesempatan baik itu tidak disia-siakan oleh Mamle. Ia segera mengunakan kesaktiannya, dibuatnya jurang yang curam untuk membentengi orang-orang itu.

Ketika sadar, para pengejar itu tidak bisa berbuat apa-apa karena disekitarnya telah terbentang jurang yang curam, sehingga mereka tidak dapat lagi melakukan pengejaran terhadap Mamle.

Mamle kemudian mengubah dirinya menjadi seekor burung layang-layang dan mendatangi mereka. Orang-orang yang mau tunduk, ia selamatkan dan mereka yang tidak mau, ia tinggalkan hingga mati kelaparan dan menjadi batu. Kedua syolo (anak perempuan paman) yang menaruh hati kepada Mamle juga ikut mati. Mereka menjadi batu dan disebut sitri (tempat hati terlambat). Kedua batu itu apabila diusap atau diperolok, maka akan turun hujan yang sangat lebat. Konon batu tersebut sampai sekarang masih ada.

Lama setelah peristiwa itu, Mamle diundang oleh seseorang untuk membantunya membuka ladang baru. Tetapi Mamle datang terlambat.

Orang-orang yang ikut gotong royong membuka ladang itu telah beristirahat kecapaian. Mamle kemudian membuat api dan mengumpulkan kayu-kayu kering. Dengan sebelah tangannya, kayu-kayu itu sekali tarik sudah bertumpuk dengan baik. Semua kayu dan belukar di tempat itu akhirnya terbakar hingga habis dan ladang pun siap ditanami. Orang-orang yang hadir ditempat itu menjadi takjub dan keheranan melihat cara kerja Mamle.


Mamle Si Anak Sakti, Cerita Rakyat Irian Jaya Bagian 3
culture: Wednesday, 26 Feb 2003 14:38:23 WIB

Pada suatu hari Mamle hendak mengunjungi bibinya yang menikah dengan orang Sawiat di tanah Meybat. Ditengah perjalanan Mamle mencambut dua buah gunung, yaitu gunung Yilo dan gunung Tless.

Kedua gunung itu kemudian diikat dengan tali dlimit dan diapit dua lengannya. Tempat bekas gunung itu menjadi dua telaga dengan airnya berwarna biru. Didalam telaga itu hidup berbagai macam ikan air asin.

Setelah sampai didekat Meybat, Mamle mengikat kedua gunung itu di pohon kara (sejenis pohon gabus). Mamle kemudian menuju ladang baru. Ketika ia meminta makan, orang-orang ditempat itu mencelanya. Mamle kemudian menuju ladang baru sebelahnya, yaitu ladang bibinya. Bibinya segera memberi makan Mamle.

Setelah orang-orang diladang itu kembali kerumah masing-masing, Mamle mengambil dua gunung yang telah diikatnya tadi. Kedua gunung itu kemudian diletakkan di ladang baru milik orang-orang dusun. Kedua gunung itu sekarang masih ada.

Pada suatu hari ibu Mamle sakit keras, tetapi tidak ada seorangpun yang menjeguknya. Bahkan, sampai meninggal tak ada orang yang melayat. Dengan sedih Mamle membawa jenazah ibunya ke khalikhat (tempat menyimpan mayat). Setelah tiga hari, Mamle mengadakan Dlen (pesta perkabungan tiga hari) tanpa dihadiri orang.

Setelah upacara perkabungan selesai, Mamle meninggalkan daerah pegunungan dan pergi ke daerah landai. Ia tinggal bersama penduduk Kabra. Ditempat itu Mamle membuat kejadian-kejadian yang menajubkan. Bila ingin makan, ia cukup mengatakan :

"Datanglah ikan, udang, serta seisi sungai Serumuk !" dan seketika itu juga datanglah berbagai macam ikan, serta lauk pauk lain yang siap dimakan.

Dihari- hari senggangnya, Mamle mengajar kebajikan kepada orang-orang Srit. Ia datang ketempat itu sambil mengenakan dua buah alas kaki yang terbuat dari batu datar. Konon sampai sekarang, dua buah batu datar itu masih ada disana.

Demikianlah legenda yang mengisahkan anak sakti Mamle. Masyarakat disana, sampai sekarang masih menganggap bahwa gunung Yilo dan gunung Tless di tanah Meybat serta dua buah batu datar di daerah Srit tersebut ada kaitannya dengan legenda Mamle.

Sigarlaki dan Si Limbat-Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara

Pada jaman dahulu di Tondano hiduplah seorang pemburu perkasa yang bernama Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang luput dari tombakannya.

Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat. Meskipun terkenal sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil memperoleh satu ekor binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat melaporkan pada majikannya bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri orang.

Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging persediaan mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan tega menuduh dirinya sebagai pencuri.

Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang mencuri. Caranya adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam. Bersamaan dengan itu Si Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari kolam berarti Si Limbat tidak mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih dahulu maka terbukti ia yang mencuri.

Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia berkehendak untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan Sigarlaki menancapkan tombaknya.

Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan minum di kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi hutan itu. Tetapi tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah dengan Si Limbat. Tetapi ia meminta agar pembuktian itu diulang lagi.

Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja menancapkan tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar. Iapun menjerit kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya Si Limbat yang menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki karena sembarangan menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.

(Diadaptasi secara bebas dari Drs. J Inkiriwang dkk, "Sigarlaki dan si Limbat," Dept. P dan K, Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978/1979)

Dayan Nada -Nusa Tenggara Barat

ALKISAH, di zaman antah berantah, ada raja jin wanita bertakhta di puncak Gunung Rinjani. Ratu jin itu bernama Dewi Anjani. Konon, Dewi Anjani memelihara burung bernama Beberi. Burung ini berparuh perak dan berkuku baja. Pada waktu itu, daratan Pulau Lombok masih berupa bukit berhutan lebat dan belum dihuni manusia.
Pada suatu hari, patih Dewi Anjani bernama Patih Songan mengingatkan Dewi Anjani akan pesan kakek Dewi Anjani. Kakeknya telah berpesan agar kelak Dewi Anjani mengisi Pulau Lombok dengan manusia.
Kemudian, Dewi Anjani mengajak Patih Songan untuk memeriksa seluruh daratan pulau itu. Karena tanaman di hutan terlalu rapat, Dewi Anjani dan Patih Songan tidak dapat berjalan dengan leluasa. Dewi Anjani berkata kepada Patih Songan, "Paman, karena pulau ini penuh sesak dengan tumbuhan, pulau ini kuberi nama Pulau Sasak."
Begitulah ceritanya sehingga pulau ini akhirnya bernama Bumi Sasak. Sekarang lebih dikenal dengan nama Pulau Lombok.
Setelah mengetahui bahwa pulau itu penuh dengan hutan dan bukit, Dewi Anjani memerintahkan burung Beberi untuk meratakan sebagian daratannya. Bagian yang datar akan menjadi tempat bercocok tanam bagi manusia nantinya.
Akhirnya, Beberi berhasil meratakan bagian selatan pulau itu. Dewi Anjani pun segera memanggil para jin.
"Wahai saudara-saudara, aku bermaksud mengubah wujud kalian menjadi manusia," kata Dewi Anjani setelah para jin berkumpul. Para jin itu sebagian setuju dan sebagian lagi menolak.
"Untuk apa Tuanku mengubah kami menjadi manusia?" kata jin yang tidak setuju.
Dewi Anjani sangat marah. Ia menyuruh pengikutnya untuk menangkap jin-jin yang menolak. Para jin itu berlari kian kemari menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di batu besar, pohon kayu, gua, dan tempat lainnya.
Setelah keadaan aman, Dewi Anjani mengubah dua puluh pasang jin bangsawan menjadi manusia. Seorang di antaranya ditunjuk sebagai pemimpin. Pemimpin itu memunyai seorang istri yang sedang hamil. Setelah masanya, lahirlah seorang anak lelaki.
Begitu lahir, anak itu sudah pandai lari, bicara, dan makan sendiri. Ia langsung minta makan saat itu juga. lbunya segera menyediakan makanan. Ajaib sekali, bayi itu makan dengan sangat lahap. Tiga bakul besar nasi dan lauk habis dimakannya. Ayah dan ibunya heran melihat kelakuan anak itu. Anak itu pun diberi nama si Doyan Nada, julukan untuk orang yang kuat makan. Tubuh Doyan Nada pun tumbuh sangat cepat karena ia kuat makan.
Ayah Doyan Nada sengaja merobohkan batang kayu yang ditebangnya ke arah Doyan Nada.
Karena ayah Doyan Nada seorang pemimpin suku, ia sering diundang kenduri. Doyan Nada selalu minta untuk ikut. Tetapi, ayahnya selalu mendapat malu di kenduri itu karena anaknya makan sangat lahap. Akhirnya, ayahnya kecewa dan marah.
"Carilah makan untuk dirimu sendiri, aku tak kuat memberimu makanan lagi," kata ayahnya geram.
Doyan Nada pun pergi meminta-minta kepada orang kampung.
Suatu hari, Doyan Nada diajak ayahnya pergi menebang pohon di hutan. Ayahnya sengaja menyuruhnya berdiri pada arah kayu yang akan roboh. Tubuh Doyan Nada pun tertindih batang kayu besar yang roboh itu.
"Nah, matilah kau anak pembuat malu," gerutu ayahnya segera pulang. Ketika ibu Doyan Nada menanyakan anaknya, si suami berdusta.
"Mana aku tahu ia tersesat di hutan, mungkin sudah ditelan ular besar!" jawabnya.
Dewi Anjani melihat kejadian itu dari anjungan istana di puncak Gunung Rinjani. la memerintahkan burung Beberi untuk memercikkan air Banyu Urip. Air itu dapat membuat orang mati hidup kembali. Setelah diperciki air itu, Doyan Nada hidup lagi. Kemudian, pohon kayu besar yang menindihnya itu dibawa pulang. Sesampai di rumah, ia berteriak, "Ibu, lihatlah hasilku mencari kayu!" la pun membanting batang kayu itu.
Diam-diam ayah Doyan Nada merasa takjub. la mencari akal lain. Keesokan harinya, Doyan Nada diajak ayahnya pergi mencari ikan di lubuk besar. Ketika Doyan Nada sedang asyik mencari ikan, sang ayah mendorong sebuah batu besar ke arahnya. Batu besar itu menimpa tubuh Doyan Nada. Doyan Nada pun mati. Ayahnya cepat-cepat pulang. Kepada istrinya ia berdusta lagi ketika ditanya mengapa Doyan Nada tidak ikut pulang.
Sekali lagi, Dewi Anjani melihat kejadian itu. la memerintahkan burung Beberi untuk membawa Banyu Urip. Setelah air itu dipercikkan, Doyan Nada hidup kembali. Batu besar yang menimpa dirinya dibawa pulang dan dibanting di luar halaman. Konon, dari batu itulah desa itu mengambil nama, yaitu Selaparang. Sela berarti batu dan parang berarti besar dan kasar.
Suatu malam, ibu Doyan Nada berkata kepada putra tunggalnya, "Wahai anakku sayang, jika engkau tetap tinggal di sini, ayahmu pasti akan mencelakakanmu lagi. Karena itu, pergilah engkau mengembara mencari kehidupan sendiri. Sebagai bekal, lbu buatkan tujuh buah ketupat untukmu."
Doyan Nada pun bertangis-tangisan dengan ibunya. Malam itu juga ia berangkat mengembara. la berjalan siang malam menempuh hutan belantara, tebing, dan jurang. Padang luas dilaluinya, sungai deras diseberanginya. Setiap diadang binatang buas, ia melemparkan sebuah ketupat pemberian ibunya. Anehnya, binatang-binatang penghalang itu akan menyingkir memberi jalan setelah mereka memakan ketupat itu.
Akhirnya, Doyan Nada sampai di Gunung Rinjani. Ketika sedang berjalan melalui hutan, ia mendengar suara orang merintih. Suara itu didekatinya. Ternyata, suara itu berasal dari seorang pertapa yang terlilit akar beringin yang amat kokoh. Karena terlalu lama bertapa, akar beringin itu menjerat tubuhnya. Doyan Nada pun melepaskan lilitan itu. Orang itu menjadi sahabatnya dan diberi nama Tameng Muter. Tameng Muter sudah bertapa lebih dari sepuluh tahun karena ia ingin menjadi raja Lombok yang berkuasa.
Doyan Nada melanjutkan perjalanan didampingi Tameng Muter. Di suatu tempat, mereka melihat ada seorang pertapa menangis dililit pohon rotan. Lebih dari dua belas tahun ia bertapa di situ sampai rotan melilit tubuhnya. Lilitan orang itu pun dilepaskan Doyan Nada dan ia menjadi sahabatnya. Sahabat baru itu diberi nama Sigar Penjalin.
Setelah itu, Doyan Nada dan kedua sahabatnya mengembara menuju puncak Gunung Rinjani. Mereka berburu rusa liar untuk dimakan.
Suatu malam, dendeng rusa mereka dicuri raksasa bernama Limandaru. Mereka mengejar raksasa itu. Sampai Gua Limandaru di Sekaroh, Doyan Nada membunuh Limandaru.
Setelah itu, Doyan Nada masuk ke dalam gua. la menemukan tiga orang putri cantik di dalam gua. Para putri itu ditawan si raksasa. Mereka berasal dari Madura, Mataram Jawa Tengah, dan Majapahit. Doyan Nada pun memperistri putri dari Majapahit, Tameng Muter memperistri putri dari Mataram, dan Sigar Penjalin memperistri putri dari Madura.
Pada suatu hari, seorang nakhoda dari Pulau Jawa datang berdagang ke Pulau Lombok. Ketiga sahabat itu menerima kedatangan sang nakhoda.
Nakhoda terpesona melihat ada tiga putri cantik di pulau itu. la ingin menukar mereka dengan barang dagangannya. Doyan Nada sangat marah, lalu menangkap sang nakhoda. Kapal beserta anak buah dan barang-barang nakhoda itu diambil. Ketiga sahabat itu membagi anak buah kapal dan barangnya, sedangkan nakhoda kapal menjadi abdi Doyan Nada.
Kelak, ketiga sahabat ini mendirikan kerajaan baru di Lombok. Doyan Nada menjadi Raja Selaparang, Tameng Muter menjadi Raja Pejanggi, dan Sigar Penjalin menjadi Raja Sembalun

Legenda batu menangis-Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat

Di sebuah bukit yang jauh dari desa, di daerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus, dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan di belakang sambil membawa keranjang dengan pakaian yang sangat dekil. Karena mereka hidup di tempat yang terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan di belakang anak gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu. "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan di belakang itu ibumu ?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "la adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekat lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu ?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. "la adalah budakku !"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. lbunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawaban yang sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu itu berdo'a.
"Ya, Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini! Hukumlah dia".
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya:
"Oh, Ibu, Ibu, ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu.... ibu... ampunilah anakmu "Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut "Batu Menangis".
Demikianlah cerita yang berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercayai bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Legenda Telaga Bidadari - Cerita Rakyat dari Kalimantan Selatan

Legenda Telaga Bidadari ini berasal dari desa Pematang Gadung. Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimatan Selatan.
Alkisah, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam keindahan di dalam hutan. Saat itu, Awang Sukma langsung membangun tempat tinggal di atas dengan berbagai penghuni hutan. Kehidupan di hutan sangat rukun dan damai. Para penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu.
Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu mengadakan perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu ketika ia tiba di sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih dan bening bagaikan sebuah cermin. Letak telaga berada di bawah kerindangan pepohonan. Beberapa pohon buah-buahan tumbuh subur dan berbuah lebat. Berbagai jenis burung, tinggal dengan aman di sekitar telaga itu. Bermacam seranggapun dengan riangnya menghisap madu bunga.
“Hem, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keajaiban yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma penuh kekaguman.
Ia tinggal di telaga itu sampai beberapa hari.
Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka dari itu ia dikenal dengan nama Datu Suling.
Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang dibawakan sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma meninggalkan telaga yang indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar suara riuh rendah di telaga.
“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda tanya.
Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip telaga.
“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari dari khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.
Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang bakal terjadi pada tujuh gadis cantik itu.
Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak menghiraukan selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di sekitar telaga. Selendang itu yang mereka gunakan untuk terbang. Ada sebuah selendang yang ditaruh di sebuah dahan pohon. Kebetulan sekali pohon itu berada didekat tempat Datu Awang Sukma mengintip.
“Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku harus bisa mendapatkan sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang Sukama yakin.
“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.
Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri yang mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil selendang masing-masing.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu. Putri Bungsu bingung tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang kembali ke Khayangan. Saat itu, Datu Awang Sukma keluar dari tempat persembunyian.
“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun tiada jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang berada didepannya.
Datu Awang Sukma sangat kagum akan kecantikan putri Bungsu. Demikian pula putri Bungsu sangat bahagia berada di dekat seorang pemuda tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan yang amat serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang Sukma berpadu dengan kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu. Tidak berapa lama Putri Bungsu mengandung. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini tidak ada yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami Datu Awang Sukma dan Putri Bungsu.
Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam tersebut mengais padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam hitam.
“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.
Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi bumbung.
“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.
Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat.
Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang ditujukan kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat selendang miliknya yang sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur dengan rasa cinta yang dalam kepada suaminya.
“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.
Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya yang masih balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu.
Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma.
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.
“Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan kedalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya,” tambahnya.
Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar dengan baik apa yang diucapkan istrinya.
Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya. Seketika itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari meratap sedih berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa. Datu Awang Sukmapun semakin melupakan istrinya.
Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai sekarang desa Pematang Gadung mematuhi larangan itu.


PESAN MORAL :
Legenda Telaga Bidadari mengajarkan kita, jika kita menginginkan sesuatu hendaknya dengan cara halal. Kita tidak boleh mencuri, merampok harta milik orang lain, karena sewaktu-waktu dapat menjadi batu sandungan dalam meraih cita-cita. Kitapun tidak boleh menyimpan perbuatan busuk, karena pada suatu saat akan ketahuan juga.

Manusia Ular - Cerita Rakyat Kalimantan Tengah

Dahulu kala ada seorang bernama Sangi. Dia adalah seorang pemburu yang tangguh. Sangi pandai menyumpit buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu ia selalu berhasil membawa pulang daging babi hutan dan daging rusa.
Sangi bertempat tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Pada suatu hari Sangi berburu. Dari pagi hingga petang ia tidak berhasil menemukan seekor binatang buruan pun. Keadaan ini membuatnya amat kesal. Karena hari telah mulai sore, ia pun pulanglah dengan tangan kosong. Di dalam perjalanan pulang ia melihat bahwa air tepi sungai sangat keruh. Ini pertanda bahwa seekor babi hutan baru saja minum air di sana. Dugaannya itu diperkuat lagi dengan adanya bekas jejak kaki babi hutan.
Dengan penuh harapan Sangi terus mengikuti jejak binatang itu. Benar saja, tidak berapa jauh dari sana, ia menemukan babi hutan yang dicarinya itu, tetapi dalam keadaan yang amat mengerikan. Sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di dalam mulut seekor ular raksasa. Kelihatannya tidak mungkin ia akan hidup kembali. Pemandangan mengerikan ini sangat menakutkan Sangi. Ia tidak dapat lari sehingga tidak ada cara lain kecuali bersembunyi di dalam semak-semak.
Beberapa waktu telah berlalu. Ular raksasa itu tidak dapat juga menelan mangsanya. Dicoba dan dicobanya berkali-kali, namun selalu gagal. Akhirnya sang ular menghentikan usahanya. Dengan murkanya dipalingkanlah kepalanya ke arah tempat Sangi bersembunyi. Secara gaib, ia berganti rupa menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Ia menghampiri Sangi dan memegang lengannya.
Pemuda itu menggertak dan memerintahkan kepada Sangi, “Telan babi hutan itu bulat-bulat ikarena engkau telah mengintip sang ular raksasa yang sedang menelan babi hutan.”
“Saya... tapi saya... tidak... bisa.”
“Ayo cepat lakukan...”
Dengan penuh rasa ketakutan Sangi melaksanakan perintah itu. Ajaib sekali, ternyata Sangi mampu melaksanakan perintah pemuda itu dengan mudah sekali, seolah-olah ia sendiri benar-benar seekor ular.
Pemuda asal ular itu berkata bahwa karena Sangi telah berani mengintainya, sejak saat itu pula Sangi berubah menjadi seekor ular jadi-jadian.
“Untuk sementara engkau tidak usah risau,” kata pemuda asal ular itu kepada Sangi. “Selama engkau dapat merahasiakan kejadian ini, engkau akan tetap dapat mempertahankan bentuk manusiamu.”
Pemuda asal ular itu lalu menghibur Sangi dengan mengatakan bahwa nasib yang menimpa Sangi sebenarnya tidaklah terlalu jelek. Sebab, sejak kejadian itu ia bukan lagi merupakan makhluk yang dapat mati sehingga ia dapat mempertahankan kemudaannya untuk selama-lamanya.
Demikianlah, Sangi terus berusaha agar rahasianya ini tidak diketahui orang, termasuk anggota kerabatnya sendiri dan anak cucunya. Dengan cara ini ia berhasil mencapai umur 150 tahun. Akan tetapi, keadaan yang luar biasa ini menimbulkan rasa aneh pada keturunannya. Mereka ingin mengetahui rahasia kakeknya yang dapat berusia panjang dan tetap dapat mempertahankan kemudaannya.
Oleh karena itu, sejak itu mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan berbagai pertanyaan. Akhirnya karena terus-menerus didesak, Sangi pun terpaksa membuka rahasianya, melanggar larangan berat itu. Sebagai akibatnya, sedikit demi sedikit tubuhnya berganti rupa menjadi seekor ular raksasa. Pergantian ini dimulai dari kakinya. Sadar akan keadaan ini, Sangi menyalahkan keturunannya sebagai penyebab nasib buruk yang sedang menimpanya.
Dalam keadaan geram ia pun mengutuki keturunannya, yang dalam waktu singkat akan mati seluruhnya dalam suatu pertikaian di antara sesamanya.
Sebelum Sangi menceburkan dirinya ke dalam Sugai Kahayan bagian hulu untuk menjadi penjaganya, ia masih sempat mengambil harta pusakanya yang disimpan di dalam satu guci Cina besar. Harta pusaka yang berupa kepingan-kepingan emas itu lalu disebarkannya ke dalam air sungai. Sambil melakukan ini ia pun mengucapkan kutukan yang berbunyi :
“Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, akan mati tak lama setelah itu, sehingga hasil emas dulangannya akan dipergunakan untuk mengupacarakan kematiannya.”
Penduduk setempat percaya kisah ini pernah terjadi. Kepercayaan mereka itu diperkuat karena di daerah mereka aka anak Sungai Kahayan yang bernama Sungai Sangi. Menurut beberapa orang yang sering berlayar dengan biduk atau perahu bermotor, mereka pernah melihat seekor ular raksasa. Kepalanya saja berukuran sebesar drum minyak tanah. Ular raksasa itu mereka lihat berangin-angin di atas bungkah-bungkah batu sungai pada bulan purnama di musim kering.
Selain itu sampai kini orang-orang di sana tidak berani mendulang emas yang katanya sebesar biji labu kuning dan banyak terdapat di sana.
Kita jangan terlalu ingin mengetahui rahasia orang, apabila sampai terdesak agar ia membukanya. Hal tersebut dapat merugikan orang itu dan mungkin juga akan merugikan kita sendiri.



SUMBER
BUKU : Kumpulan Cerita, Legenda, Dongeng Rakyat
PENULIS : MB. Rahimsyah
PENERBIT : “SINAR ILMU” Jakarta, tahun 2004

Manik Angkeran - Cerita Rakyat dari Bali

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Sumbar: http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Cerita_Rakyat/Bali.htm

Joko Tole - Madura

Joko Tole

Alkisah, di pulau Madura ada sebuah desa, namanya Pakadhangan. Desa ini termasuk wilayah Kabupaten Sumenep. Seorang pandai besi sangat terkenal bernama Empu Keleng, Empu Keleng mempunyai seorang anak angkat bernama Joko Tole. Ayah kandung Joko Tole adalah seorang raja yang bernama Adipeday. Ia sedang bertapa di gunung Ghegher. Ibunya bernama Raden Ayu Pottre Koneng, bertapa di gunung Pajhuddhan, wilayah Pamekasan.
Saat itu Kerajaan Majapahit bertahta seorang raja bernama Sri Baginda Brawijaya. Ia memerintahkan membuat pintu gerbang besi yang besar dan megah. Empu Keleng dipanggil untuk ikut melaksanakan pembuatannya. Ia pun berangkat ke Majapahit.
Pintu gerbang Majapahit sudah dikerjakan selama setahun tetapi belum selesai. Para pandai besi merasa terlalu lama meninggalkan rumahnya untuk mengerjakan gerbang itu. Empu Keleng pun jatuh sakit. Joko Tole, ayahmu sedang sakit, berangkatlah segera ke Majapahit menengok ayahmu, kata Ibu Joko Tole. Joko Tole pun segera menyusul ayahnya di Majapahit. Pekerjaan di bengkel besi diserahkan kepada teman-temannya.
Setelah berjalan melewati beberapa desa, Joko Tole memasuki sebuah hutan yang lebat. Di situ ia bertemu seseorang Selamat datang Joko Tole, seru seorang yang mengenakan ikat kepala dan jubah hitam. Jangan terkejut, aku Adipeday, ayahmu, tambahnya. Joko Tole segera mencium tangan ayahnya.
Ayah Joko Tole menyampaikan bahawa membangun pintu gerbang besi Majapahit tidak mudah dan lama. Ia memberi bunga hutan yang harus dimakan. Kelak akan keluar pateri dari dalam pusar, setelah tubuh Joko Tole dibakar. Bunga hutan itu diterima Joko Tole dan dimakannya. Kemudian Joko Tole meneruskan perjalanannya dan ditemani adiknya bernama Agus Dewi.
Kedua bersaudara ini berjalan beriringan. Mereka asyik berbicara tetapi selalu waspada jika ada ancaman bahaya. Perjalanan mereka menuju pantai untuk menyeberangi selat Madura. Ketika tiba, betapa senangnya mereka melihat perahu. Sang nakhoda memerintahkan awak perahu untuk menyiapkan segalanya, namun ia tidak suka Joko Tole naik ke perahunya. Karena itu ia berbohong dengan mengatakan perahu sudah penuh.
Ternyata perahu itu tidak bisa berlayar, karena kesaktian Joko Tole. Setelah akhirnya Joko Tole dan Agus Dewi diperkenankan naik perahu, barulah perahu itu dapat berlayar.
Daratan pulau Jawa telah nampak. Perahu segera merapat ke dermaga. Tibalah mereka di kota Gresik. Di alun-alun, keduanya didekati oleh seorang lelaki, ia seorang Perdana Menteri yang diperintahkan untuk mencari kedua pemuda itu. Kalian tentu pemuda yang dalam impian raja Gresik. Kata sang perdana Menteri itu. Raja Gresik sangat gembira melihat kedatangan kedua anak muda itu. Keduanya dianggap anak sendiri. Setelah beberapa hari mereka tinggal di istana Gresik, Joko Tole mohon diri untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Sedang Agus Dewi tetap tinggal di istana, dan kelak akan dinikahkan dengan puteri kerajaan dan bertahta menjadi raja di Gresik.
Setelah Joko Tole sampai di Majapahit. Ia bertemu dengan Empu Keleng. Mereka saling melepaskan rindu. Sementara itu, Sang raja Brawijaya kecewa karena pintu gerbang belum beres. Saya minta laporan kenapa pekerjaan kalian belum siap? sabda sang Raja. Semua pandai besi terdiam. Kalian harus bekerja keras agar besok pagi bisa selesai, sabdanya lagi. Ketika melihat ada anak muda sang raja bertanya, Hai, siapa kamu anak muda? Hamba Joko Tole, anak Empu Keleng. Kata Joko Tole sambil menyembah. Ia menerangkan, hendak membantu ayahnya. Ia pun menyanggupi menyelesaikan pintu gerbang dalam satu malam termasuk dihukum berat, bila tidak menepati janji.
Empu Keleng merasa disambar petir mendengar kesanggupan Joko Tole. Bila tidak berhasil, pasti Joko Tole akan menerima hukuman berat. Sebaliknya para pandai besi sangat girang. Sesudah tengah hari, Joko Tole ke tempat pembangunan pintu gerbang. Bapak-bapak sekalian, aku mempunyai pateri yang sangat hebat. Bakarlah badanku, dari dalam pusarku akan keluar pateri. Jika sudah keluar paterinya rendamkan badanku ke dalam kolam, kata Joko Tole meyakinkan. Badan Joko Tole dibakar dengan kayu, keluarlah benda cair putih dari pusarnya. Bagian-bagian pintu gerbang segera dilekatkan. Akhirnya pintu gerbang yang indah dan megah selesai dalam satu malam.
Raja Brawijaya sangat gembira menyaksikan pintu gerbang itu. Para pandai besi mendapat hadiah. Sedangkan Joko Tole menerima hadiah paling besar berupa perhiasan emas dan perak. Empu Keleng segera pulang ke Madura. Tolong bawalah semua hadiah dari Raja untuk ibu di rumah, kata Joko Tole. Saya akan tetap tinggal di Majapahit. Raja Brawijaya sangat berterima kasih kepada Joko Tole. Ia diangkat menjadi menteri Muda. Namanya diganti menjadi Menteri Kodapanole.
Pada suatu hari, salah seorang Bupati dari Blambangan memberontak Raja Brawijaya. Kau kuperintahkan meredam perlawanan Bupati Blambangan. Tenyata Bupati Blambangan telah melarikan diri ke hutan. Ia akhirnya berhasil menangkap Bupati itu. Raja Brawijaya semakin menaruh kepercayaan kepada Menteri Kodapanole. Ia dinikahkan dengan putri raja. Perayaan pernikahan berlangsung meriah.
Tidak lama kemudian, menteri Kodapanole memohon pulang ke Madura. Ia memerintah sebagai Bupati Sumenep. Ia sangat dicintai rakyatnya. Ayah angkatnya, Empu Keleng diajak untuk tinggal di Kabupaten. Aku ingin membangun desa, kata Empu keleng menolak ajakan secara halus dari Bupati Sumenep itu. Empu Keleng dan istrinya tetap tinggal di desa.
Pada suatu hari menteri Kodapanole sakit keras. Akhirnya ia meninggal dunia. Rakyatnya berkabung. Jenasah menteri Kodapanole dimakamkan di desa Lanjhuk. Sebuah desa yang tidak jauh dari kota Sumenep.

dwpp/april2005/disadur dari buku cerita asli Indonesia no.38/penerbit elex media merchandising/ds

Kuku Pacanaka - Cerita rakyat dari Jawa Timur

Alkisah, gunung Mahameru (Semeru) di Propinsi Jawa Timur adalah salah satu tempat bertapa para tokoh pewayangan. Gunung Mahameru tampak besar, kokoh, dan menjulang tinggi bagaikan menembus langit. Selain itu gunung Mahameru seolah menyimpan berbagai misteri yang tak pernah bisa diungkapkan. Konon Bima, putra kedua Pandawa pernah bertapa di gunung Mahameru mencari kesaktian berupa Kuku Pancanaka. Ia putra Pandawa yang kuat, teguh dan tak kenal menyerah. Dengan niat dan keyakinan yang teguh, Bima mencari tempat bertapa di gunung itu dan menemukan sebuah gua raksasa.
Gua raksasa itu didiami berbagai hewan. Selain itu bau yang tak sedap timbul dari dalam gua. Sang Bima sengaja mencari tempat di dalam gua, dan mulai bertapa. Ia bersila dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas kedua lututnya. Pandangan matanya dipusatkan pada satu titik di depannya. Gerak pernapasannya diatur sesuai dengan irama tetesan air di dalam gua. Iapun berkonsentrasi penuh, sehingga apa yang terjadi disekelilingnya tak dihiraukan.
Setelah beberapa bulan bertapa, ternyata belum ada tanda-tanda keinginannya terkabul. Bahkan ia mengalami berbagai godaan dari jin penunggu gua.
“Akulah penghuni gua, ayo hentikan tapamu dan makanlah makanan enak dan lezat ini,” kata jin yang hanya berwujud kepala manusia menyeramkan itu. Datang pula bergantian beberapa wanita cantik menggoda. Berbagai tarian lucu pun diperagakan oleh hewan-hewan. Namun Bima tetap tak bergeming.
Sementara itu, para dewa di Kahyangan bersidang membicarakan tujuan dan maksud Bima bertapa. Mereka tahu bahwa Bima ingin memiliki Kuku Pancanaka yang sakti. Padahal Kuku Pancanaka tersebut milik salah satu Dewa di Kahyangan.
“Aku tidak mau Kuku Pancanaka ini diturunkan kebumi bagi Bima,” kata Dewa pemilik Kuku Pancanaka itu. Ia tidak ikhlas kalau Kuku Pancanaka harus menjadi milik orang lain, apalagi calon pemiliknya bukan Dewa. Ini akan merendahkan martabat Dewa itu.
Batara Guru, Pemimpin para Dewa di Kahyangan kehabisan akal. Jika Kuku Pancanaka tidak segera diberikan kepada Bima yang sedang bertapa, Bima akan mengamuk. Dengan kekuatannya yang luar biasa ia mampu mengangkat gunung dan mengancurkannya. Bumi pun bisa habis dimusnahkan Bima. Tidak hanya itu, Bima juga bisa mengobrak-abrik seluruh isi Kahyangan.
Batara Guru berusaha membujuk Dewa pemilik Kuku Pancanaka untuk menyerahkan pusakanya kepada Bima, namun kata-kata sang Batara dianggap angin lalu oleh Dewa itu.
Suatu saat, Bima mendapat bisikan gaib bahwa untuk mendapatkan Kuku Pancanaka diperlukan perjuangan yang luar biasa. Padahal setelah melewati hari yang ditentukan, Bima merasa berhak mendapatkan Kuku Pancanaka itu.
“Herr,” geram Bima sambil meremas-remas kedua belah jari tangannya, seolah-olah akan menghancurkan bumi.
“Awas, bumi akan aku obrak-abrik dan penghuninya akan kuinjak-injak!” tantangan Bima geram.
Ancaman Bima didengar langsung oleh Batara Guru dan para Dewa di Kahyangan. Mereka tidak mau bumi dihancurkan Bima.
“Aku akan mengutuskan untuk segera menemui dan menenangkan Bima,” kata Batara Guru kepada Batara Narada segera turun ke bumi menenui Bima. Terjadilah ketegangan dan perdebatan seru. Batara Narada menganggap Bima sebagai anaknya. Ia memberi penjelasan bahwa untuk mendapatkan Kuku Pacanaka itu tidak mudah. Harus diusahakan secara terus menerus. Batara mengatakan bahwa para Dewa sedang berupaya mendapatkan Kuku Pancanaka.
Tetapi Bima sudah tidak sabar lagi, bahkan ia merasa harga dirinya diinjak-injak.
Ia telah menyelesaikan tapanya sebagai syarat untuk mendapatkan Kuku Pancanaka yang diidam-idamkan.
Batara Narada pun segera kembali ke Kahyangan.
“Ampun Batara Guru, Bima sulit ditenangkan dan ia harus segera mendapatkan Kuku Pancanaka ,” kata Batara Narada kepada Batara Guru. Dengan kesaktian luar biasa, Batara Guru menciptakan dua buah Kuku Pancanaka persis sama dengan milik Dewa di Kahyangan. Kuku Pancanaka itu mengeluarkan sinar yang menakjubkan dan tajam luar biasa.
“Bawa ini dan cepat berikan kepada Bima,” kata Batara Guru sambil memberikan dua buah Kuku Pancanaka kepada Batara Naraka. Batara Narada segera turun ke bumi menemui Bima. Cahaya terang menyilaukan mata mengiringi perjalanan Batara Narada.
“Terimalah dan rawatlah Kuku Pancanaka ini sebaik mungkin,” kata Batara Narada kepada Bima. Kedua Kuku Pacanaka itu segera menancap dan menjadi satu di kedua ibu jari tangan Bima. Batara Narada segera kembali ke Kahyangan.
Bersamaan dengan itu, sekonyong-konyong muncul raksasa yang sangat menakutkan menantang Bima. Bima menjawab tantangan raksasa itu. Terjadilah pertempuran sengit. Mereka mengeluarkan berbagai ajian. Raksasa Angkara Murka terdesak dan lari mencebur ke laut.
Ajaib! Raksasa itu segera berubah menjadi ular raksasa yang siap menelan mangsa. Bima tidak tinggal diam. Mereka pun bertempur lagi laut. Akibatnya terjadilah ombak bergulung-gulung tak henti-hentinya. Raksasa Angkara Murka mulai mengendurkan serangannya. Bima langsung menancapkan Kuku pancanaka ke tubuh Raksasa itu. Air laut pun berubah menjadi merah karena tersiram darah si Raksasa.

PESAN MORAL

Bima memiliki sebuah senjata adalan beruapa Kuku Pacanaka. Ia menggunakan senjata tersebut untuk membunuh Angkara Murka yang terwujud raksasa. Ini adalah lambang agar dalam meraih cita-cita sebaiknya kita membasmi sifat-sifat tak terpuji yang selalu melekat di dalam diri kita. Salah satunya adalah sifat angkara murka, seperti yang telah dibasmi oleh Bima.

Bathara Kala - Cerita Rakyat dari Jawa Tengah

Hyang Girinata ingin mengelilingi dunia bersama istrinya. Mereka naik di atas punggung lembu Andini, terbang di angkasa. Mereka telah selesai mengelilingi pulau Jawa, lalu terbang diatas samodera. Kebetulan waktu matahari terbenam, waktu senja kala, sinar matahari merah menyinari air samudera, menimbulkan pandangan indah di lautan.
Hyang Guru memandang keindahan samudera, bimbang ragu hatinya, bangkit asmaranya, karena sejak kelahiran Wisnu, jauh dari rindu asmara. Sejak itulah baru bangkit keinginan untuk berwawan asmara dengan istrinya. Tetapi sayang, Dewi Uma tiada menanggapinya, sebab rasa hati masih jauh untuk bersenggama. Sang Hyang Guru berkeinginan keras, sang istri dipegang lalu dipangkunya serta akan digaulinya. Sang istri menolak dan mengelak serta berkata kasar. Dikatanya Hyang Guru terlalu kasar seperti raksasa, berbuat di sembarang tempat diatas punggung lembu.
Sang istri mengharap agar Hyang Guru sabar, karena kata Dewi Uma itu seketika Hyang Guru bertaring seperti raksasa. Kama Hyang Girinata terlanjur keluar dan jatuh di samudera, menggelegar suaranya. Air samudera berdegur hebat, membual-bual seperti di aduk-aduk. Sang Hyang Guru merasa malu, bercampur marah kepada sang istri dan segera mereka kembali.
Air samudera masih hebat membual-bual, gegap gempita suaranya dan menggemparkan para dewa. Surga bagai digunjang, lalu disuruh carai penyebabnya. Segera para dewa berangkat dan cepat jalannya. Mereka telah tiba di sumber huru-hara, terlihat dari dasar laut cahaya seperti matahari sedang memancarakan sinar panasnya. Setelah jelas mereka kembali, dan melaporkan bahwa yang menimbulkan huru-hara di dasar laut tempat asalnya. Mereka tidak dapat mendekat, karena panas sinarnya seperti panas api. Sang Hyang Guru berkata, bahwa yang tampak bercahaya itu bernama Kamasalah.
Para dewa disuruh kembali, siap dengan perlengkapan perang. Mereka disuruh memusnahkan Kamasalah yang bernyala-nyala di samudera itu dengan menimbunkan senjata kepadanya. Para dewa segera berangkat, siap dengan senjata perang. Setiba di tempat yang bernyala-nyala itu, para dewa bersama-sama melepaskan panah. Seperti hujan jatuhnya, senjata gada, denda, bedama, gandi, kunta, cakra, candrasa, kapak, limpung, mosala, lori, alugoro jatuh di dasar laut tempat asal cahaya yang bernyala-nyala itu. Samudera bagai diaduk-aduk geloranya. Kamasalah yang telah tertimbun panah dan senjata tidak reda, bahkan bertambah besar. Setelah hilang yang bernyala-nyala, jadilah raksasa segunung besarnya. Semua senjata membentuk tubuh Kamasalah. Denda menjadi kepala, gada menjadi leher, limpung menjadi hidung, serta pipi dan pelipis, cakra menjadi mata, bindi menjadi paha, nenggala menjadi bahu, trisula menjadi bahu kiri, gada menkadi dada, semua anak panah menjadi bulu dan gigi. Raksasa tersebut sekonyong-konyong datang, berdiri tegak seprti gunung di atas samudera. Segera berliuk badan, bersin, bagai halilintar suaranya, dehem bagai guntur, lalu keluar dari samudera. Mendekati para dewa seraya memekik, berkata menanyakan ayahnya. Para dewa takut, mereka lari tunggang langgang, Kamasalah mengikutinya.
Para dewa telah tiba dihadapan Sang Jagadnata, berkata gagap bahwa Kamasalah tidak bisa dimusnahkan dengan senjata, bahkan menjadi raksasa segunung besarnya, wajahnya menakutkan keluar dari dalam samudera, berseru bertanya ayahnya, seraya mengerang bagai halilintar. Oleh karena itu para dewa tercerai berai mereka takut. Belum selesai dewa berkata, tiba-tiba Kamasalah datang, para dewa sembunyi di belakang. Kamasalah memandangnya, Hyang Guru tetap duduk, tidak bergerak dari tempat. Kamasalah mendekat, tiba di depan Hyang Guru, lalu duduk tegak bertanya dengan suara menggelegar. Hyang Guru ditanya namannya, Hyang Guru menjawab bahwa ia raja dunia pelindung semua yang hidup, bernama Sang Hyang Jagadnata. Kamasalah berkata, bila sang Hyang Jagadnata pelindung dunia mesti tahu yang menganakkan dia dan tahu tempat tinggalnya. Sang Hyang Jagadnata mengaku tahu segala pertanyaan Kamasalah dan sanggup menunjukkan tempat tinggal ayahnya, dengan syarat Kamasalah mau menghormat , merunduk mencium kakinya. Kamasalah sanggup, tetapi bila Sang Hyang Jagadnata membohonginya akan dimakannya. Sang Hyang Jagadnata sanggup, Kamasalah disuruh menghormatnya. Kamasalah menghormat, Sang Hyang Jagadnata mencabut rambut pelipis kanan kiri. Kamasalah meronta dan menengadah, cepat-cepat Sang Hyang Jagadnata memegang kedua taring dan dipotong ujungnya, lalu ditekan lidahnya sehingga semua bisa keluar mulutnya. Kamasalah dilempar jatuh tertunduk tanpa daya, pucuk taring bersama bisa diciptanya, ujung taring kanan menjadi kunta, sedang ujung taring kiri menjadi pasupati dan rambut menjadi tali busar panah. Kemudian Sang Hyang Guru berkata, bahwa Kamasalah adalah puteranya dan diberi nama Batara Kala.
Batara Kala lalu disuruh bertempat tinggal di Nusakambangan, serta merajai makhluk jahat dan jin yang tinggal di pulau Jawa. Kamasalah terima kasih atas cinta kasih Sang Hyang Guru, akan menurut segala perintah kemudian minta catu yang boleh menjadi makannya. Sang Hyang Guru memberi catu enampuluh jenis manusia, lalu disebutkan perinciannya, enampuluh jenis manusia terdiri dari anak dan orang sukerta. Batara Kala mendengar jenis manusia yang disebut oleh Sang Hyang Guru dengan senang hatinya, lalu mohon diri serta diijinkannya, Batara Kala menghormat, lalu berangkat ke Nusakambangan, Batara Kala bertempat di Nusakambangan, makhluk jahat dan jin mengaku Batara Kala sebagai rajanya.
Sepeninggalan Batara Kala, Sang Hyang Guru kembali ke surga, kemarahan terhadap Dewi Uma bangkit kembali. Sebab ia bertaring dari akibat kata-kata istrinya, Dewi Uma menyonsong kedatangan suaminya, segera menghormat di hadapan Sang Hyang Pramesti. Seketika dipegang rambutnya, ditarik sehingga terurai sanggulnya. Dewi Uma berteriak keras, berumbai-umbai rambutnya. Dewi Uma dipegang kedua kakinya, dibaliknya kepala dibawah. Dengan marah Sang Hyang Guru berkata, cantik rupawan Dewi Uma tetapi rambut berumbai-umbai bagai raksasi, jerit suara sebagai pekik raksasa pula. Seketika Dewi Uma berubah berujud raksasi. Dewi Uma dilepas, maka Dewi Uma pun berteriak sedih, datang menghormat Sang Hyang Guru seraya mohon maaf dan bertobat. Sang Hyang Guru terharu dan menaruh belas kasihan. Sang Hyang Guru berkata lembut, bahwa telah menjadi takdir. Jasmani Dewi Uma berujud raksasi, tetapi sukma tetap sukma Dewi Uma. Dewi Uma yang berujud raksasi akan menjadi istri Batar Kala. Kemudian Sang Hyang Guru memasukkan sukma ke tubuh Dewi Laksmi istri uwaknya yang bernama Resi Catur Kanaka, anak jin Lama raja jin yang berujud raksasi. Dewi Laksmi canti rupawan, secantik Dewi Uma yang telah berujud raksasi, lalu diberi nama Batari Durga dan diberikan kepada Batara Kala. Batara Kala dan Batari Durga hidup bersama di Nusakambangan.
Sang Hyang Girinata telah limabelas tahun tinggal di Pulau Dwipa, kemudian kembali ke tanah Hindi bersama para dewa. Setiba dibukit Tengguru mereka mendirikan Kahyangan kemudian membangun Kahyangan di tanah selong. Resi Catur Kanaka yang istrinya telah diambil Sang Hyang Guru menyerah kepada nasibnya.
http://www.jawapalace.org/batarakala.htm

Timun Emas-Cerita rakyat dari Jawa Tengah

Dahulu di Jawa Tengah ada seorang janda yang sudah tua. Mbok Rondo namanya. Pekerjaannya hanya mencari kayu di hutan. Sudah lama sekali Mbok Rondo ingin mempunyai seorang anak. Tapi dia hanya seorang janda miskin, lagi pula sudah tua. Mana bisa ia mendapatkan anak.


Pada suatu hari, sehabis mengumpulkan kayu di hutan, Mbok Rondo duduk beristirahat sambil mengeluh.
"Seandainya aku mempunyai anak, beban hidupku agak ringan sebab ada yang membantuku bekerja,"
Tiba-tiba bumi bergetar, seperti ada gempa bumi. Di depan Mbok Rondo muncul raksasa bertubuh besar dan wajahnya menyeramkan.
Mbok Rondo takut melihatnya.
"Hai, Mbok Rondo, kamu menginginkan anak, ya? Aku bisa mengabulkan keinginanmu," kata raksasa itu dengan suara keras. "Benarkah?" tanya Mbok Rondo. Rasa takutnya mulai menghilang.
"Benar... tapi ada syaratnya. Kalau anakmu sudah berumur enam belas tahun, kau harus menyerahkannya kepadaku. Dia akan kujadikan santapanku" jawab raksasa itu.
Karena begitu inginnya dia punya anak maka Mbok Rondo tidak berpikir panjang Iagi. Yang penting segera punya anak."Baiklah, aku tidak keberatan," jawab Mbok Rondo.
Kemudian, raksasa itu memberi biji mentimun kepada Mbok Rondo. Mbok Rondo segera pulang dan menanam benih itu di halaman belakang.
Setiap hari Mbok Rondo menyirami biji timun itu. Ajaib! Dua minggu kemudian, tanaman itu sudah berbuah. Buahnya lebat sekali.
Di antara sekian banyak buah mentimun yang tumbuh, ada satu buah yang sangat besar. Warnanya kekuningan. Kalau tertimpa sinar matahari, buah itu berkilau seperti emas. Mbok Rondo sangat tertarik pada buah mentimun yang besar itu, ia memetiknya dan membawa pulang buah yang paling besar itu.
Sampai di rumahnya, Mbok Rondo mengambil pisau dan membelah buah itu. Lalu, ia membukanya dengan hati-hati. Ajaib! Ternyata ada seorang bayi perempuan yang cantik!
"Ah, ternyata raksasa itu tidak berbohong!"gumam Mbok Rondo." Sekarang aku punya anak perempuan. "Aduh senangnya hatiku."
Mbok Rondo sangat gembira. la menamakan bayi mungil itu Timun Emas.
Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Timun Emas tumbuh menjadi seorang gadis jelita. Mbok Rondo sangat menyayangi Timun Emas. Pagi itu sangat cerah. Mbok Rondo dan Timun Emas bersiap pergi ke hutan untuk mencari kayu. Tiba-tiba... Bum, bum, bum... Bumi bergetar Lalu disusul suara tawa menggelegar
"Hai, Mbok Rondo, keluarlah! Aku datang untuk menagih janji," kata raksasa itu.
Gemetar seluruh tubuh Mbok Rondo, cepat-cepat ia memeluk Timun Emas lalu membisikinya agar gadis itu sembunyi ke kolong tempat tidur.
Lalu Mbok Rondo keluar menemui raksasa itu.
"Aku tahu, kedatanganmu kemari untuk mengambil Timun Emas. Berilah aku waktu dua tahun lagi. Kalau Timun Emas aku berikan sekarang, tentu kurang lezat untuk disantap. Tubuhya masih kecil."
"Benar juga. Baiklah, dua tahun lagi aku akan datang. Kalau bohong, kamu akan kutelan mentah-mentah," ancam raksasa itu.
Sambil tertawa, raksasa itu pergi meninggalkan rumah Mbok Rondo. Mbok Rondo menghela napas lega. Kemudan, ia masuk ke rumah menghampiri anaknya yang masih bersembunyi di kolong tempat tidur. "Anakku, keluarlah. Raksasa itu sudah pergi," kata Mbok Rondo.
"Aku tadi mendengar percakapan Ibu dengan raksasa itu. Rupanya raksasa itu menginginkan aku," kata Timun Emas.
"Benar, anakku. Tapi, lbu tidak rela kamu menjadi santapan raksasa itu," kata Mbok Rondo sambil memeluk Timun Emas. Air matanya berlinang di pipi.
Dua tahun kemudian, Timun Emas sudah dewasa. Wajahnya semakin cantik. Kulitnya kuning langsat. Tapi Mbok Rondo cemas jika teringat akan janjinya kepada si raksasa.
Pada suatu malam, ketika Mbok Rondo sedang tidur, ia mendengar suara gaib dalam mimpinya. "Hai, Mbok Rondo, kalau kau ingin anakmu selamat, mintalah bantuan kepada seorang pertapa di bukit Gandul."
Esok harinya, Mbok Rondo pergi ke Bukit Gandul. Di sana ia bertemu dengan seorang pertapa. Pertapa itu memberikan empat bungkusan kecil yang isinya biji timun, jarum, garam, dan terasi.
Mbok Rondo menerimanya dengan rasa heran. Sang pertapa menerangkan khasiat benda-benda itu.
Sesampainya di rumah, ia menceritakan perihal pemberian pertapa itu kepada Timun Emas. "Anakku, mulai saat ini kamu tidak perlu cemas. Kamu tak perlu takut kepada raksasa itu, sebab kamu sudah memiliki penangkalnya. Berdoalah selalu supaya Tuhan menyelamatkanmu," kata Mbok Rondo.
Ketika Mbok Rondo sedang menjahit baju untuk Timun Emas, tiba-tiba bumi berguncang pertanda raksasa datang.
"Ho... ho... ho... Mana Timun Emas! Ayo, cepat serahkan dia padaku. Aku sudah sangat lapar!" kata raksasa dengan suara menggelegar.
"Baiklah. Akan kubawa dia keluar," kata Mbok Rondo.
la segera masuk ke rumah. Diambilnya bungkusan pemberian sang pertapa, kemudian diberikan kepada Timun Emas.
"Anakku, bawalah bekal ini. Pergilah lewat pintu belakang sebelum raksasa itu menangkapmu."
"Baiklah, Mbok" Timun Emas segera berlari lewat pintu belakang. "Mbok Rondo, mana Timun Emas?!" suara raksasa itu terdengar tidak sabar.
"Maafkan aku, Raksasa. Timun Emas ternyata sudah pergi." "Apa kau bilang?" geram raksasa itu.
Namun berkat kesaktiannya, raksasa itu dapat melihat Timun Emas yang sedang melarikan diri. Tanpa berkata-kata lagi, si raksasa Iangsung mengejar Timun Emas.
"Walau Iari ke ujung dunia, aku pasti dapat mengejarmu!" teriak si raksasa.
Karena terus menerus berlari, Timun Emas mulai kelelahan. Dalam keadaan terdesak, Timun Emas teringat akan bungkusan pemberian sang pertapa.
Cepat ia taburkannya biji mentimun di sekitarnya. Sungguh ajaib. Mentimun itu langsung tumbuh dengan lebat. Buahnya besar- besar Raksasa itu berhenti ketika melihat buah mentimun terhampar di hadapannya. Dengan rakus ia segera melahap buah yang ada, sampai tak satu pun tersisa.
"Ha... ha... ha... buah mentimun ini dapat menambah tenaga," kata si raksasa.
Setelah kenyang, raksasa itu kembali mengejar Timun Emas. Pada saat itu juga, Timun Emas membuka bungkusan dan menaburkan jarum ke tanah. Sungguh ajaib! Jarum jarum itu berubah menjadi hutan bambu yang lebat.
Raksasa itu berusaha menembusnya. Namun tubuh dan kakinya terasa sakit karena tergores dan tertusuk bambu yang patah.
la pantang menyerah Dan berhasil melewati hutan bambu itu terus mengejar Timun Emas.
"Hai, Timun Emas, jangan harap kamu bisa lolos!" seru si raksasa sambil membungkuk untuk menangkap Timun Emas. Dengan sigap, Timun Emas melompat ke samping dan berkelit menghindar. "Oh, hampir saja aku tertangkap," Timun Emas terengah-engah. Keringat mulai membasahi tubuhnya. la ingat pada bungkusan pemberian pertapa yang tinggal dua itu. Isinya garam dan terasi.
la segera membuka tali pengikat bungkusan garam. Garam itu ditaburkan ke arah si raksasa. Seketika butiran garam itu berubah menjadi Iautan.
Raksasa itu sangat terkejut, karena tiba-tiba tubuhnya tercebur ke dalam laut. Tapi, berkat kesaktiannya, ia berhasil berenang ke tepi. la kembali mengejar Timun Emas.
Merasa dipermainkan, kemarahan raksasa itu semakin memuncak. "Bocah krang ajar! Kalau tertangkap, akan kutelan kau bulat-bulat!"
Timun Emas semakin khawatir karena raksasa itu berhasil melewati lautan yang sangat luas itu. Akan tetapi, ia tidak putus asa. la terus beriari meskipun sudah kelelahan. Raksasa itu terus mengejar.
Timun Emas melemparkan isi bungkusan yang terakhir Terasi itu langsung dilemparkan ke arah si raksasa. Tiba-tiba saja terbentuklah lautan lumpur yang mendidih.
Raksasa itu terkejut sekali. Dalam sekejap, tubuhnya ditelan lautan lumpur. Dengan segala upaya, ia berusaha menyelamatkan diri. la meronta-ronta. Tapi, usahanya sia-sia. Tubuhnya pelan--pelan tenggelam ke dasar.
"Timun Emas, tolonglah aku!" Aku berjanji tidak akan memakanmu," raksasa itu meminta belas kasihan.
Tapi lumpur panas itu menelan tubuh si raksasa. Kini Timun Emas bisa bernapas lega karena selamat dari bahaya maut.
la segera berjalan ke arah rumahnya. Di kejauhan nampak Mbok Rondo berlari ke arah Timun Emas kiranya wanita itu mengkhawatirkan keselamatan anaknya.
"Syukurlah anakku, ternyata Tuhan masih melindungimu." kata Mbok Rondo setelah keduanya saling mendekat
Mereka berpelukan dengan rasa haru dan bahagia.

Sangkuriang - Cerita Rakyat dari Jawa barat

Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu.

Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.

Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.

Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi.

Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.

Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.

Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.

Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota.

Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.

Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu."

(Diadaptasi secara bebas dari Alice M. Terada, "The Story of Sangkuriang," The Magic Crocodile and Other Folktales from Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press, 1994, hal. 60-64)

Puteri Malam-Cerita rakyat dari Bangka

Puteri Malam mengisahkan Pak Raje seorang kepala desa yang memiliki sawah dan bertindak sewenang-wenang. Sawah yang ditanami padi yang sedang berbuah itu dimasuki beberapa ekor babi. Pak Raje meminta kepada Sang Penyumpit menjaganya dengan dalih orang tua Sang Penyumpit yang sudah almarhum pernah berutang kepadanya. Demi membayar utang orang tua Sang Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje. Ketika menjalankan tugasnya Sang Penyumpit mendapat rezeki yang tak diduga sehingga kaya raya. Melihat ini Pak Raje juga ingin mengikuti jejak Sang Penyumpit namun nasibnya sial, Pak Raje mati. Untunglah kemudian Sang Penyumpit mau membantu sehingga Pak Raje pulih kembali. Di akhir cerita Pak Raje insaf akan perbuatannya. Lalu menikahkan anaknya yang bungsu dengan Sang Penyumpit. Jabatan kepala desa pun diserahkannya kepada menantunya yang baik hati itu.
Tema cerita ini memperlihatkan bahwa orang yang jahat akan mendapat hukuman yang setimpal dan orang yang baik akan mendapat keberuntungan. Sedang pesan atau amanat cerita adalah sebaiknya jangan berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada orang lain.
Perlakuan jahat yang dilakukan Pak Raje pada mulanya ketika sawahnya dimasuki babi. Dia memaksa Sang Penyumpit untuk mau menjaga. Agar Sang Penyumpit tak dapat menolak Pak Raje mengatakan bahwa pekerjaan ini sebagai ganti membayar utang ayahnya yang sudah almarhum. Sang Penyumpit tak dapat menolak demi untuk melunasi hutang ayahnya dan inilah tanda ia berbakti kepada orang tua. Sang Penyumpit bekerja keras siang malam demi membela nama baik orang tuanya.
Tutur Amiruddin Ja’far dalam cerita Puteri Malam:
Sampai diladang ia pun membakar kemenyan minta restu dewa-dewanya, tak lupa ia memuja mentemau (dewa babi) agar suka menolongnya supaya babi-babi jangan dilepaskan memakan ladang Pak Raje. Jika malam telah menyungkupi alam ini, sunyi senyaplah perladangan itu, merondalah Sang Penyumpit kesegenap pojok ladang. Tiga malam belum kejadian apa-apa, demikianlah hingga tujuh malam berlalu. Siang hari ia harus bekerja di ladang menuai padi dan malam hari harus pula jaga hingga tubuhnya merasa lemas dan pucat. Kadang-kadang ingin ia beristirahat tapi mengingat ancaman Pak Raje terpaksa ia terus berjaga-jaga.
Kerja keras Sang Penyumpit diberi imbalan yang baik. Dalam cerita dikisahkan ketika babi memasuki sawah ia sempat menombak dan mengenai seekor babi. Ingin tahu Sang Penyumpit menelusuri ke mana babi itu lari lewat darah yang bercucuran. Tiba di sebuah desa dalam rimba itu ia akhirnya mengetahui yang terkena seorang puteri. Ibu puteri itu minta kepada Sang Penyumpit menyembuhkan sakit puteri. Sang Penyumpit menolong puteri yang sakit. Nilai budaya menolong di sini digambarkan pengarang dalam cerita sebagai berikut:
Didekatinya gadis yang sedang sakit itu, dibukanya selimut yang menutupi kakinya. Sang Penyumpit meneliti tampak olehnya suatu benda hitam mencuat, sedikit ditelitinya betul-betul nyatalah bahwa itu mata tombak. ”Bik, kuminta agar disediakan buluh seruas panjang sehasta, daun keremunting yang sudah ditumbuk banyaknya secupak”, kata Sang Penyumpit kepada ibu gadis itu……..
…………...dicabutnya mata tombak yang terhunus , ….luka bekas cabutan ditutupinya dengan daun keremunting untuk penahan darah yang keluar.
Besok tentu ia sudah bisa berjalan-jalan kembali….
Di sini kita juga diberi informasi bagaimana mengobati orang luka dengan dedaunan obat yang tersedia di daerah itu.
Nilai budaya tolong-menolong dapat ditemukan juga dalam cerita rakyat ini, ketika Sang Penyumpit akan pergi meninggalkan desa puteri itu. Sang Penyumpit yang telah menolong menyembuhkan puteri yang sakit diberi hadiah. Hal itu digambarkan pengarang sebagai berikut:
……tetapi sebelum anak pulang paman mau menyiapkan oleh-oleh guna kau bawa ke duniamu.
Inilah oleh-oleh dari dunia kami, ini bungkusan kunyit, ini bungkusan buah nyatoh, ini daun simpur, ini buah jering. Tapi kempat bungkusan ini jangan anakku buka sebelum sampai ke rumah. Supaya anak tidak mendapat kesulitan di jalan bakarlah dulu kemenyan ini.
Dalam cerita selanjutnya digambarkan ketika oleh-oleh itu dibuka dirumah Sang Penyumpit ternyata isinya bukan kunyit dan jering tetapi perhiasan emas, pemata intan berlian. Sejak itu tersiar kabar bahwa Sang Penyumpit telah menjadi kaya raya. Hutang ayahnya kepada Pak Raje pun segera dilunasi.
Mendengar pengalaman Sang Penyumpit yang akhirnya menjadi kaya raya, Pak Raje pun ingin meniru. Tapi sial ketika Pak Raje mengikuti jejak Sang Penyumpit dalam cerita dikisahkan mati. Setelah mengobati anak gadis yang kena tombak itu Pak Raje tertidur. Ketika bangun ia diserang berpuluh-puluh ekor babi yang besar-besar. Tubuhnya disobek-sobek. Berita ini tersiar di desa Pak Raje. Puteri tua Pak Raje menyampaikan nasib ayahnya kepada Sang Penyumpit. Mendengar kabar ini Sang Penyumpit ingin segera menolong lebih-lebih ia sudah mengenal desa itu. Sifat menolong dan jujur yang dimiliki oleh Sang Penyumpit merupakan nilai budaya daerah yang khas dalam cerita rakyat Puteri Malam. Hal ini tercermin dalam baris-baris yang disusun pengarang Amiruddin Ja’far sebagai berikut:
Dewa Matemau mengetahui bahwa anakku seorang yang jujur. Karena kejujuranmu itu, anakku dianiaya ataupun ditipu oleh sebangsamu di duniamu sendiri. Sebat itulah Matemau pada mulanya melarang adik-adikmu ke tempat buah-buahan yang enak di ladang Pak Raje, kemudian Matemau memerintahkan supaya adik-adikmu datang lagi ke ladang. Kami bertanya mengapa Matemau memerintahkan demikian? Katanya cucuku Sang Penyumpit harus ditolong karena dia sendiri ditipu oleh Pak Raje. Bagaimana caranya Sang Penyumpit menolong Pak Raje sehingga tubuhnya tak tersobek-sobek lagi dan hidup kembali? Dikisahkan Sang Penyumpit menggunakan 7 helai daun. Lalu dia membakar kemenyan lalu menyebut, ada tangan, ada kaki. Semua anggota tubuh Pak Raje disebut. Terakhir diucapkan Pak Raje.
Digambarkan dalam asap mengepul Sang Penyumpit membacakan manteranya lalu tampak Pak Raje berusaha duduk. Dia tampak menggosok-gosokkan matanya.
Pak Raje yang telah insaf dan mengaku bersalah digambarkan pengarang dengan kalimat sebagai berikut:
” Marilah kita pulang Sang Penyumpit segala kesalahankku kepadamu dan kepada rakyat segera kuminta maaf. Sesudah itu engkau kukawinkan dengan si Bungsu lalu aku akana mengundurkan diri, engkaulah akan menggantiku. Marilah kita pulang agar kabar gembira ini segera kita laksanakan”.
Sesuai dengan janji Pak Raje pada saat yang telah ditentukan puteri Bungsunya dinikahkannya dengan Sang Penyumpit. Jabatan sebagai kepala desa pun diserahkan kepada menantunya yang baik hati itu. Selanjutnya kedua insan yang baru menjadi suami isteri ini hidup berbahagia.***
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2004/0306/bud2.html

Sipahit Lidah - Sumatera Selatan

Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.
Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.
Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.
Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi
(Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"Si Pahit Lidah," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, pp. 25-28).
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Budaya_Bangsa/Cerita_Rakyat/sumatra_selatan.htm

Malin Kundang - Sumatera Barat

Dahulu kala di Padang, Sumatra Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.
Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nelayan. Ibunya sudah tua. Ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari, Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya untuk mengobati Malin dengan mendatangkan tabib.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.
Ketika sudah dewasa, Malin berpamit kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.
“Bu, ini kesempatan yang paling baik bagi saya.” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali degan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia menengadahkan kedua tangannya ke atas sembari berdoa agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nakhoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan, a mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa sekarang Malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segea kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih Mande Rubayah tiap malam.
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat-tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang Sultan atau sorang Pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebaran keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum lagi tetua desa sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk Malin erat-erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira. “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya ke mana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambil bekat, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malih menendangnya sambil berkata, “Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu sangat disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, pantai Air Manis sudah sepi. Di laut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatan tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, ya Tuhan...!”
Tidak lama kemudian, cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal Malin Kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah, sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuun, Bu....! Ampuuuun, Buuuuu...!” konon itulah suara si Malin Kundang.
Orang yang durhaka kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mencapat pemgampunan dari ibunya.

SUMBER
BUKU : Kumpulan Cerita, Legenda, Dongeng Rakyat
PENULIS : MB. Rahimsyah
PENERBIT : “SINAR ILMU” Jakarta, tahun 2004

Danau Toba - Cerita Rakyat dari Sumatera Utara

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tani yatim piatu di bagian utara pulau Sumatra. Daerah tersebut sangatlah kering. Syahdan, pemuda itu hidup dari bertani dan memancing ikan. Pada suatu hari ia memancing seekor ikan yang sangat indah. Warnanya kuning keemasan. Begitu dipegangnya, ikan tersebut berubah menjadi seorang putri jelita. Putri itu adalah wanita yang dikutuk karena melanggar suatu larangan. Ia akan berubah menjadi sejenis mahluk yang pertama menyentuhnya. Oleh karena yang menyentuhnya manusia, maka ia berubah menjadi seorang putri.

Terpesona oleh kecantikannya, maka pemuda tani tersebut meminta sang putri untuk menjadi isterinya. Lamaran tersebut diterima dengan syarat bahwa pemuda itu tidak akan menceritakan asal-usulnya yang berasal dari ikan.Pemuda tani itu menyanggupi syarat tersebut. Setelah setahun, pasangan suami istri tersebut dikarunia seorang anak laki-laki. Ia mempunyai kebiasaan buruk yaitu tidak pernah kenyang. Ia makan semua makanan yang ada.

Pada suatu hari anak itu memakan semua makanan dari orang tuanya. Pemuda itu sangat jengkelnya berkata: "dasar anak keturunan ikan!"Pernyataan itu dengan sendirinya membuka rahasia dari isterinya.Dengan demikian janji mereka telah dilanggar.

Istri dan anaknya menghilang secara gaib. Ditanah bekas pijakan mereka menyemburlah mata air. Air yang mengalir dari mata air tersebut makin lama makin besar. Dan menjadi sebuah danau yang sangat luas. Danau itu kini bernama Danau Toba

(Diadaptasi bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"How Lake Toba Came into Existence," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, hal. 43-48).

Raja Parakeet-Cerita Rakyat Dari Aceh

Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut terganggu, karena kehadiran seorang pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar burung tersebut.

Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal. Hampir semuanya panik,kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku, tenanglah. Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang, berpura-puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu akan memeriksa kita. Kalau ia mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum kita bersama-sama terbang kembali.
Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia mengambil hasil tangkapannya. Betapa ia kecewa setelah mengetahui burung-burung tersebut sudah tidak bergerak, disangkanya sudah mati. Namun pemburu tersebut jatuh terpeleset, sehingga membuat burung-burung yang ada ditanah terkejut dan terbang. Hanya raja parakeet yang belum terlepas dari perekat. Iapun ditangkap.
Raja Parakeet meminta pada pemburu itu untuk tidak dibunuh. Sebagai imbalannya ia akan selalu menghibur si pemburu. Hampir tiap hari ia bernyanyi dengan merdunya. Khabar kemerduan suara burung itu terdengar sampai ke telinga sang Raja.
Raja menginginkan burung parakeet tersebut. Sang Raja kemudian menukar burung itu dengan harta-benda yang sangat banyak. Di istana sang Raja, burung parakeet ditaruh didalam sebuah sangkar emas. Setiap hari tersedia makanan yang enak-enak.
Namun burung parakeet tidak bahagia. Ia selalu ingat hutan Aceh tempat tinggalnya. Pada suatu hari ia berpura-pura mati. Sang Raja sangat sedih dan memerintahkan penguburannya dengan upacara kebesaran. Ketika persiapan berlangsung, burung itu diletakkan diluar sangkar. Saat itu ia gunakan untuk terbang mencari kebebasanya. Ia terbang menuju hutan kediamannya. Dimana rakyat burung parakeet setia menunggu kedatangannya.
(Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"How the Parakeet King Regained his Freedom," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, hal. 5-9).